" ADA APA DI BALIK TUNTUTAN RINGAN 8 BULAN ? PEMALSUAN IJAZAH SRI WAHYUNI DAN DUGAAN PERMAINAN BESAR DI BALIK MEJA HUKUM !"

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Sidang kasus pemalsuan ijazah yang melibatkan Sri Wahyuni, Kepala Desa Amin Jaya, Kecamatan Pangkalan Banteng menguak fakta mencengangkan dalam sistem hukum Indonesia khususnya Kotawaringin Barat (Kobar). Tuntutan 8 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ari Andhika Thomas, S.H., untuk pelanggaran berat ini menimbulkan banyak spekulasi dan kecurigaan adanya permainan besar di balik meja hukum. Kritik tajam pun menyeruak, mempertanyakan apakah keadilan masih relevan atau telah menjadi komoditas bagi kepentingan tertentu.
Terdakwa Sri Wahyuni yang saat ini menjabat sebagai Kepala Desa Amin Jaya telah terbukti bersalah dan mengakui perbuatannya memalsukan ijazah untuk syarat pencalonan dirinya pada Pilkades 2023 menuai gelombang kritik dari berbagai kalangan. Dalam wawancara langsung bersama salah satu Jaksa Penuntut Umum dan awak media yang menyambanginya di Kantor Kejaksaan Negeri Kobar, Ari Andika Thomas,S.H menyampaikan pembelaannya terkait tuntutan pada Kasus Sri Wahyuni, namun alasan yang diberikan justru menambah ketidakpuasan masyarakat.
Dasar Hukum: Pasal 263 dan 266 KUHP.
Sri Wahyuni didakwa dengan Pasal 263 dan Pasal 266 KUHP. Bunyi kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 263 KUHP:
"Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun."
Pasal 266 ayat (1) KUHP:
"Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."
Namun, meski ancaman maksimal pidana mencapai 7 tahun, JPU hanya menuntut hukuman 8 bulan dengan alasan terdakwa dianggap telah mengakui perbuatannya, menunjukkan penyesalan, dan belum pernah memiliki catatan kriminal sebelumnya.
Terdakwa Masih Bebas dan Menjabat: Hukum Jadi Tontonan Memalukan?
Dalam waktu 8 minggu kasus ini digelar, dengan 6 kali persidangan dan 2 kali penundaan sidang, tetapi Sri Wahyuni masih tetap berlenggang bebas, bahkan masih menjabat sebagai Kepala Desa Amin Jaya. Situasi ini menunjukkan betapa hukum seolah tunduk pada kekuasaan, menciptakan tontonan yang mencoreng wajah keadilan di Kobar.
Bagaimana mungkin seseorang yang terbukti memalsukan dokumen untuk meraih jabatan publik tetap diberikan kebebasan penuh? Apakah ini bentuk "keadilan istimewa" yang hanya berlaku untuk pejabat? Masyarakat Desa Amin Jaya yang kecewa mempertanyakan, jika hukum serendah ini menegakkan keadilan, siapa yang akan melindungi hak-hak rakyat?
Beberapa Kritik Tajam dan Sorotan masyarakat :
1. Tuntutan yang Terkesan Formalitas
Tuntutan 8 bulan jauh dari kata adil untuk kasus sebesar ini. Pemalsuan ijazah bukan hanya pelanggaran administrasi, melainkan kejahatan moral yang merusak integritas pemerintahan dan demokrasi di tingkat desa.
2. Pengabaian Efek Jera
Tuntutan ringan seperti ini menciptakan preseden buruk bagi pejabat lain. Alih-alih memberikan efek jera, hukuman ini justru menjadi sinyal bahwa pelanggaran serupa dapat dilakukan tanpa konsekuensi serius.
3. Dampak pada Rival Politik yang Diabaikan
Tindakan Sri Wahyuni merugikan rival politik dalam Pilkades 2023 yang bersaing secara jujur. Namun, kerugian tersebut tidak menjadi pertimbangan dalam tuntutan. Apakah kerugian harus selalu dihitung dalam bentuk material semata?
4. Indikasi Ketidakadilan Sistemik
Kasus ini menegaskan ketimpangan perlakuan hukum. Ketika pelanggaran dilakukan oleh rakyat kecil, hukum bisa seketika "berlari kencang." Tetapi ketika pelanggaran dilakukan oleh pejabat, hukum terlihat "tersandung."
Dugaan Permainan Besar di Balik Tuntutan Ringan.
Tuntutan yang dianggap "lembut" ini memicu spekulasi adanya permainan besar di balik meja hukum. Apakah ada tekanan dari pihak tertentu yang membuat tuntutan begitu ringan? Ataukah ini cerminan korupsi moral dalam sistem penegakan hukum? Masyarakat menuntut transparansi dalam pengambilan keputusan ini, karena kasus seperti ini, jika dibiarkan, akan melahirkan pejabat yang menghalalkan segala cara demi kekuasaan.
Pertanyaan yang Harus Dijawab Jaksa Penuntut Umum:
1. Mengapa Ancaman Maksimal di Pasal 266 Tidak Dipertimbangkan?
Dengan ancaman maksimal 7 tahun penjara, apa justifikasi jaksa dalam menetapkan tuntutan hanya 8 bulan?
2. Apakah Keputusan Ini Adil bagi Rival Politik dan Masyarakat?
Bagaimana jaksa mempertimbangkan kerugian moral dan politik yang dialami rival terdakwa dalam Pilkades 2023?
3. Bagaimana Kejaksaan Menjamin Integritas Hukum?
Apa langkah kejaksaan agar kasus ini tidak menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Kotawaringin Barat?
Apakah Keadilan Masih Hidup?
Kasus Sri Wahyuni bukan sekadar perkara pemalsuan dokumen, tetapi juga ujian besar bagi integritas hukum di Indonesia khususnya di Kotawaringin Barat. Jika hukum terus dipertontonkan seperti ini, dengan kesan tunduk pada kepentingan tertentu, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan akan runtuh.
Masyarakat Desa Amin Jaya dan Kabupaten Kotawaringin Barat menunggu hasil putusan sidang berikutnya dengan harapan besar. Tetapi, apakah harapan itu akan terwujud, atau kasus ini akan menjadi contoh lain dari lemahnya hukum di hadapan kekuasaan?
Hukum seharusnya menjadi pelindung kebenaran, bukan alat bagi mereka yang mencari keuntungan. Jika keadilan terus dipermainkan, lalu apa artinya hidup dalam negara hukum?
( SUBAN / IMAM )