" KASUS PEMALSUAN IJAZAH KADES AMIN JAYA SRI WAHYUNI : SIDANG DITUNDA, PUBLIK KECEWA, HUKUM DI KOBAR TERKESAN LAMBAN DAN DIPERTANYAKAN? "
TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Kasus pemalsuan ijazah yang melibatkan Kepala Desa Amin Jaya, Sri Wahyuni binti Muksin, kembali mencuri perhatian publik setelah sidang keenam yang dijadwalkan pada Selasa (03/12/2024) ditunda dengan alasan yang dianggap tidak cukup jelas. Sidang yang berlangsung singkat selama kurang dari 15 menit yang di pimpin oleh Hakim Ketua Ikha Tina, S.H.,M.Hum dan Hakim Anggota Widana Anggara Putra, S.H.,M.Hum dan Firmansyah, S.H.,M.H dengan Panitera Pengganti Hariyanto kembali menambah kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar). Sidang yang ditunggu-tunggu tersebut kembali harus dilanjutkan pada tanggal 10 Desember 2024, dengan alasan jaksa Penuntut Umum (JPU) belum siap untuk mengajukan tuntutan.
Keputusan untuk menunda persidangan yang terkesan seperti tidak ada kemajuan, semakin memperlihatkan lambannya proses hukum yang mengharuskan masyarakat menunggu berlarut-larut. Terlebih lagi, status Sri Wahyuni sebagai tahanan kota semakin memicu kekesalan publik mengingat Sri Wahyuni sudah mengakui perbuatannya dalam sidang sebelumnya pada 26 November 2024. Sebagai seorang pejabat publik, status tahanan kota yang diberikan kepada Sri Wahyuni menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ada ketidakberanian hukum yang sengaja dilakukan karena posisi terdakwa sebagai kepala desa? Atau apakah ada kekuatan lain yang melindunginya dari hukuman yang seharusnya?
Penundaan sidang ini semakin menguatkan persepsi negatif terhadap kualitas proses hukum yang berlangsung di Kobar. Publik mulai mempertanyakan apakah hukum di daerah ini benar-benar diterapkan dengan adil, terutama terhadap pejabat publik yang terbukti melakukan pelanggaran. Dalam kasus ini, Sri Wahyuni telah mengakui pemalsuan ijazah yang digunakannya untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Tindakannya jelas melanggar hukum, namun sidang yang tertunda kembali membuat masyarakat semakin bertanya-tanya tentang keberanian aparat penegak hukum di Kobar.
Dalam persidangan ini Terdakwa Kepala Desa Amin Jaya Sri Wahyuni nampak hadir dengan didampingi oleh Kuasa Hukumnya Supriadi, S.H serta puluhan Awak Media dari Kobar yang sedari awal selalu hadir untuk mengawal Kasus ini sampai tuntas.
Sebagai informasi, Sri Wahyuni dikenakan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat untuk digunakan sebagai alat bukti dalam perbuatan pidana dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun. Selain itu, Pasal 263 KUHP juga memberikan sanksi lebih berat bagi pejabat yang menggunakan surat palsu untuk tujuan tertentu, yang berhubungan langsung dengan integritas jabatan publik.
Tindakan pemalsuan ijazah oleh seorang kepala desa bukan hanya masalah pribadi, tetapi berdampak pada kredibilitas dan integritas institusi pemerintahan di tingkat desa. Pemalsuan tersebut merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi dan mencederai nilai-nilai keadilan yang seharusnya dipegang teguh dalam setiap proses pemilihan. Oleh karena itu, tindakan hukum yang tegas dan transparan sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Mengapa sidang kasus pemalsuan ijazah ini tidak berjalan dengan cepat? Apakah ada ketidakmampuan atau ketidaksiapan aparat penegak hukum yang menghambat kelancaran jalannya proses hukum? Ataukah ada faktor-faktor lain yang menyebabkan kasus ini ditunda tanpa alasan yang jelas?
Publik, khususnya warga Desa Amin Jaya dan Kobar semakin jenuh serta kecewa dengan proses hukum yang berjalan lambat ini. Penundaan sidang yang terkesan tidak substansial semakin memperburuk citra peradilan di Kobar. Apalagi, status Sri Wahyuni yang masih bebas meskipun sudah mengakui perbuatannya dalam sidang sebelumnya, semakin menambah rasa tidak adil di kalangan masyarakat. "Kami ingin melihat apakah hukum benar-benar bisa ditegakkan tanpa pandang bulu, terutama untuk pejabat publik yang jelas-jelas melanggar hukum," Ungkap Udin salah seorang warga Kobar.
Kasus ini adalah ujian besar bagi integritas sistem peradilan di Kobar. Jika aparat penegak hukum gagal menuntaskan perkara ini dengan adil, maka kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum akan semakin tergerus. Masyarakat menuntut agar sidang ini segera dipercepat, agar keputusan yang transparan dan adil dapat segera dicapai.
Proses hukum tidak seharusnya dijadikan alat untuk mengulur waktu, apalagi jika melibatkan pejabat publik yang melakukan tindak pidana. Kasus pemalsuan ijazah oleh Sri Wahyuni seharusnya menjadi peringatan bahwa siapa pun, tanpa terkecuali pejabat publik, harus bertanggung jawab atas perbuatannya di hadapan hukum.
Dalam konteks ini, masyarakat harus menyadari bahwa penegakan hukum tidak boleh ada kompromi, apalagi dalam kasus yang merusak integritas pemilu dan pemerintahan. Tindak pidana pemalsuan surat adalah tindakan yang sangat serius, yang tidak hanya merugikan individu yang bersangkutan, tetapi juga mencemari sistem demokrasi yang ada. Oleh karena itu, setiap warga negara, terutama mereka yang berstatus pejabat publik, harus tahu bahwa mereka akan menghadapi sanksi yang setimpal jika terbukti melanggar hukum.
Bagi aparat penegak hukum, kasus ini adalah kesempatan untuk menunjukkan komitmen mereka dalam menegakkan keadilan. Jangan biarkan proses hukum ini terhambat oleh alasan yang tidak jelas. Keputusan untuk menunda sidang ini harus diambil dengan penuh pertimbangan, karena publik sudah menunggu dengan sabar dan berharap agar hukum ditegakkan dengan seadil-adilnya.
Sebagai penutup, kita harus selalu ingat bahwa hukum adalah pilar utama dalam menjaga keadilan dan integritas masyarakat. Oleh karena itu, mari kita tegakkan hukum tanpa pandang bulu, untuk menciptakan negara yang adil, sejahtera, dan bebas dari tindakan korupsi dan manipulasi.
( SUBAN / IMAM )