" PROSES HUKUM DINILAI LAMBAN MASYARAKAT GERAM : KADES AMIN JAYA BEBAS MELENGGANG MENGAPA HUKUM TERLIHAT LUNAK UNTUK PEJABAT BERMASALAH ? "
TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Kasus pemalsuan ijazah oleh Kepala Desa Amin Jaya, Kecamatan Pangkalan Banteng dengan terdakwa Sri Wahyuni, kembali memicu kontroversi setelah sidang ketiganya yang seyogyanya di gelar pada Selasa (12 /11 /2024) ini ditunda hingga Selasa depan Tanggal 19 November 2024. Alasan penundaan adalah duka yang dialami Hakim Ketua Ikha Tina, SH., M. Hum., yang ibunya meninggal dunia. Namun, penundaan ini semakin memperkuat kritik dari masyarakat Kotawaringin Barat yang mempertanyakan ketegasan hukum terhadap pejabat publik yang melanggar aturan.
Sri Wahyuni, meski berstatus terdakwa dalam kasus pemalsuan dokumen resmi masih bebas tanpa penahanan. Ketidaktegasan ini mengejutkan publik dan menciptakan kesan bahwa ada "perlakuan istimewa" bagi pejabat bermasalah. Dalam masyarakat, opini berkembang bahwa kasus ini mencerminkan betapa lemahnya hukum ketika berhadapan dengan pejabat, padahal dugaan pelanggarannya serius, mencakup pemalsuan ijazah untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa.
Dalam wawancara langsung bersama Yudhi Hudaya,S. STP selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kotawaringin Barat, menegaskan bahwa pihaknya tidak berwenang mempengaruhi keputusan hukum. “Kami tidak memiliki hak atau kuasa untuk memutuskan penahanan. Kami menghormati proses hukum yang dijalankan oleh aparat terkait,” ungkap Yudhi.
Namun, jawaban Yudhi memicu tanggapan sinis dari publik. Mengapa seseorang yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa dalam dugaan pemalsuan dokumen resmi tetap bebas tanpa proses penahanan? Bagi sebagian orang, ini menunjukkan bahwa status Sri Wahyuni sebagai pejabat memberi perlindungan yang tidak dimiliki masyarakat biasa dalam situasi serupa. “Jika masyarakat biasa yang melakukan hal ini, penahanan bisa dilakukan dengan cepat,” ujar seorang warga, yang menyatakan kekecewaannya.
Sri Wahyuni dituduh melanggar Pasal 263 dan Pasal 266 KUHP yang mengatur tentang pemalsuan dokumen. Ancaman hukuman bagi tindakan pemalsuan ini adalah maksimal enam tahun penjara. Dalam kasus ini, Sri Wahyuni diduga memalsukan ijazah untuk memenuhi persyaratan pencalonan melanggar prinsip integritas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pejabat yang diduga melanggar hukum seharusnya ditindak tegas, terutama dalam kasus pemalsuan dokumen, demi memastikan integritas dalam jabatan publik.
Dalam peraturan desa, pejabat yang terbukti melanggar hukum dengan ancaman lebih dari lima tahun penjara dapat dikenakan pemberhentian sementara. Yudhi Hudaya menjelaskan, “Jika ancaman hukumannya lebih dari lima tahun, kami akan memberlakukan pemberhentian sementara terhadap pejabat yang bersangkutan.” Namun, jika ancaman hukumannya kurang dari itu, pemberhentian tetap menunggu putusan final dan berkekuatan hukum tetap.
Sayangnya, hingga kini tindakan yang tegas belum terlihat. Jika aparat penegak hukum tidak segera mengesahkan penahanan, hal ini berpotensi merusak kredibilitas hukum di mata publik.
Masyarakat Kotawaringin Barat semakin mempertanyakan: apakah hukum benar-benar berlaku adil, atau hanya "tajam ke bawah, tumpul ke atas ?" Kasus Sri Wahyuni ini telah menimbulkan keresahan dan kecurigaan bahwa ada keistimewaan dalam penegakan hukum terhadap pejabat publik. Jika terbukti ada ketidakadilan, kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi pejabat lainnya yang berpotensi memalsukan dokumen demi kekuasaan tanpa takut akan konsekuensinya.
"Kami kecewa dan menuntut keadilan. Hukum harus ditegakkan, apapun posisinya, pejabat atau bukan," ujar Agus seorang tokoh masyarakat. Jika pemalsuan dokumen oleh pejabat bisa ditangani dengan santai, masyarakat khawatir pejabat publik lainnya bisa merasa bahwa hukum hanya “hiasan” yang tidak perlu ditakuti.
Dengan belum adanya tindakan tegas, harapan publik untuk melihat hukum berjalan adil mulai meredup. Dinas PMD sendiri menegaskan bahwa roda pemerintahan di Desa Amin Jaya akan tetap berjalan, di bawah pengawasan ketat dari Camat setempat. Yudhi juga menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan sosialisasi yang lebih intensif untuk memastikan keaslian dokumen para calon pejabat desa. Namun, di tengah polemik ini, masyarakat menginginkan lebih dari sekedar sosialisasi. Mereka ingin melihat aksi nyata yang membuktikan bahwa hukum bisa berlaku tegas bagi semua.
"Kami berharap hukum bisa berdiri tegak, tanpa pilih kasih," tegas Agus. Keputusan pada Selasa, 19 November 2024 nanti akan menjadi ujian penting bagi lembaga hukum di Kotawaringin Barat. Hanya dengan ketegasan yang transparan dan independen, kepercayaan publik bisa dipulihkan.
( SUBAN / IMAM )