" KELUARGA BESAR NORSEMAH BINTI ABDUL GANI SIAP TEMPUH JALUR HUKUM LAWAN PT. BLP KUMAI DEMI KEJELASAN HAK TANAHNYA "

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Surat sudah di layangkan, tindak lanjut ditunggu, namun waktu terus berjalan dan tidak ada kabar yang datang. Beginilah kenyataan pahit yang harus di hadapi oleh keluarga besar almarhumah Norsemah binti Abdul Gani dalam perjuangan panjang mereka memperjuangkan hak atas tanah leluhur yang kini disengketakan dengan PT. Bumi Langgeng Perdanatrada (BLP) di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat.
Setelah lebih dari dua bulan menunggu tanpa kepastian, keluarga besar almarhumah Norsemah binti Abdul Gani tidak menyerah. Perwakilan keluarga kembali mengupayakan pendekatan langsung, mereka mendatangi Kantor Bupati Kotawaringin Barat pada Selasa (27/05/2025). Tujuannya jelas: berharap dapat bertemu dan ingin berbicara langsung dengan Bupati Kobar Hj. Nurhidayah, S.H., M.H. Sayangnya, sang kepala daerah sedang berada di Palangka Raya dalam urusan dinas. Namun perjuangan mereka tidak sia-sia, keberuntungan masih berpihak ketika Wakil Bupati Kobar Suyanto, S.H., M.H., yang baru saja selesai mengikuti rapat penting, meluangkan waktu untuk menemui mereka.
Dalam pertemuan yang penuh harap tersebut, Wakil Bupati Kobar Suyanto menyampaikan pengakuan yang sangat mengejutkan: bahwa ia bahkan tidak mengetahui adanya pengaduan dari pihak keluarga besar Norsemah binti Abdul Gani. "Sampai hari ini, saya tidak tahu bahwa ada laporan masyarakat dari pihak keluarga Norsemah," ungkap Suyanto.
Ucapan tersebut menyingkap sebuah sisi gelap dari lemahnya sistem koordinasi dan sensitivitas birokrasi daerah terhadap persoalan rakyatnya. Surat resmi yang dilayangkan oleh perwakilan keluarga pada bulan Maret, diikuti tindak lanjut pada bulan April, ternyata tidak sampai ke telinga pejabat nomor dua di daerah ini.
Dalam pertemuan yang berlangsung singkat namun sarat makna ini, Wakil Bupati Suyanto pun menyarankan agar keluarga besar Norsemah binti Abdul Gani mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Pangkalan Bun agar semuanya menjadi "jelas dan selesai". Suyanto juga menyampaikan bahwa kebuntuan mediasi di tingkat Kecamatan nantinya akan menjadi gambaran yang kemungkinan besar akan terjadi juga di tingkat Kabupaten dan menggugat bisa menjadi jalan hukum yang tegas. "Kalau memang ingin menyelesaikan masalah ini secara jelas dan tuntas, silahkan ajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Pangkalan Bun. Namun, pesan saya harus hati-hati dalam mencari Pengacara. Jangan sampai masyarakat justru dimanfaatkan dan menjadi korban lagi," pesan Suyanto.
Reaksi Wakil Bupati memberi sinyal bahwa ada kelumpuhan sistem komunikasi dan koordinasi di tubuh pemerintahan Kobar. Pertanyaannya bukan sekadar mengapa surat itu tidak dibalas, tetapi lebih dalam lagi : Apakah kepentingan rakyat kecil benar-benar mendapat ruang dalam struktur kekuasaan lokal?
Setelah pertemuan dengan Wakil Bupati Suyanto, Keluarga besar Norsemah binti Abdul Gani pun sedikit lega karena sudah bisa bersuara tetapi masih merasa kecewa, namun tidak menyerah. Mereka menyatakan akan mempertimbangkan langkah hukum melalui jalur perdata sesuai saran pemerintah dan siap mengambil resiko apabila jalur hukum adalah jawaban terakhir dari perjuangan panjang ini. Langkah itu bukan karena mereka menyerah melainkan karena pemerintah tak lagi memberi ruang bagi penyelesaian secara musyawarah mufakat dan kekeluargaan yang damai sebagai bentuk perjuangan yang selama ini mereka junjung tinggi nilainya dengan sabar dan itikad baik. “Kami tidak ingin konflik ini menjadi api di masyarakat. Sejak awal kami hanya ingin penyelesaian secara kekeluargaan, damai, dan adil. Tapi kalau pemerintah daerah tidak memberikan respons, lalu kepada siapa lagi kami mengadu? Yang jelas kami akan terus berjuang dan siap menempuh jalur hukum demi kejelasan hak tanah keluarga besar Norsemah binti Abdul Gani. Ini bukan hanya soal tanah tetapi juga tentang bagaimana pemerintah memperlakukan warganya,” ucap Fitri Boga Artanti perwakilan dari ahli waris.
Perkara yang sedang mereka perjuangkan adalah konflik lahan antara keluarga besar Norsemah binti Abdul Gani dengan pihak perusahaan PT. Bumi Langgeng Perdanatrada (BLP) seluas 253 Hektar di wilayah Desa Sungai Bedaun, Kecamatan Kumai. Sengketa ini tidak hanya menyangkut hak atas tanah, tapi juga menyangkut harga diri dan hak hidup generasi penerus Norsemah. Seorang perempuan yang meninggalkan warisan bukan hanya berupa tanah, tapi juga semangat perjuangan dalam menuntut keadilan.
Kisah ini menjadi sorotan tajam bagi pemerintah daerah. Bagaimana mungkin surat resmi dari warga tidak ditanggapi? Bagaimana bisa, ketika konflik agraria menjadi sumber gejolak sosial yang potensial, satuan tugas yang dibentuk untuk meredamnya justru tak bergeming?
Ketika warga mencari keadilan lewat jalur prosedural, mereka justru terombang-ambing oleh keheningan birokrasi. Ini adalah cermin buram dari sistem penanganan konflik sosial yang gagal menjalankan fungsi dasarnya untuk menjadi jembatan antara masyarakat dan kekuasaan, antara rakyat kecil dan institusi besar.
Dengan surat kedua yang dilayangkan pada 5 Mei 2025 dan tembusan kepada 17 instansi terkait mulai dari Bupati hingga ATR/BPN, DPRD hingga TNI/POLRI, keluarga besar Norsemah binti Abdul Gani telah menunjukkan langkah yang terukur, tertib, dan beradab. Kini, publik menanti: apakah pemerintah daerah akan tetap diam? Ataukah akhirnya akan membuka mata dan menyikapi ini sebagai panggilan tanggung jawab moral dan konstitusional? Dimana suara lembaga-lembaga yang menerima tembusan surat ini? Dan yang terpenting, siapa yang akan bertanggung jawab atas pembiaran yang sudah terlalu lama ini?
Keluarga besar Norsemah binti Abdul Gani tidak menuntut lebih, mereka tidak turun kejalan atau membuat keributan. Mereka menyurati, menghadap, dan bersabar. Surat yang mereka layangkan saksi hidupnya bukan hanya kertas, tapi juga puluhan tembusan kepada institusi pemerintahan dan penegak hukum. Namun yang mereka hadapi justru tembok bisu bernama birokrasi.
Yang lebih menyakitkan, pada tanggal 21 April 2025, perwakilan keluarga besar Norsemah mendatangi langsung Sekretariat Daerah (Sekda) Kobar. Namun dengan alasan rapat, tak ada waktu sebentar saja untuk rakyat bahkan pintu seperti tertutup rapat. Tak putus asa, perwakilan keluarga bahkan menitipkan catatan resmi untuk menanyakan perkembangan kasus dan tindak lanjut penyelesaian bahkan tidak lupa menuliskan juga nomor handphone yang bisa di hubungi, namun lagi-lagi yang mereka terima adalah kesunyian birokrasi.
Konflik agraria bukan sekadar urusan tanah saja, ia adalah urusan kemanusiaan, urusan hak atas penghidupan, urusan martabat warga negara. Pemerintah yang baik seharusnya tidak menunggu rakyatnya turun ke jalan untuk berdemonstrasi atau menggugat ke pengadilan hanya agar suaranya didengar. Karena pemerintahan yang baik bukan hanya tentang sibuk bekerja, tetapi pemerintahan yang peka, hadir, dan tanggap terhadap warganya terutama ketika warganya sedang berjuang sendirian.
Kisah ini belum usai. Dan satu hal yang pasti: keadilan tidak boleh ditunda, dan rakyat tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri.
( TIM TO )