“ROBEKNYA MORAL DI BALIK JUBAH SUCI : KASUS DUGAAN ASUSILA OLEH OKNUM PIMPINAN PONPES DI KOBAR BERLANJUT KE RANAH HUKUM, KELUARGA KORBAN TOLAK DAMAI !”

“ROBEKNYA MORAL DI BALIK JUBAH SUCI : KASUS DUGAAN ASUSILA OLEH OKNUM PIMPINAN PONPES DI KOBAR BERLANJUT KE RANAH HUKUM, KELUARGA KORBAN TOLAK DAMAI !”

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :

    Masyarakat Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) dikejutkan oleh terungkapnya kasus dugaan tindak asusila yang dilakukan oleh Pimpinan salah satu Pondok Pesantren (Ponpes) di Desa Pangkalan Tiga, Kecamatan Pangkalan Lada. Sosok berinisial NQ, yang dikenal sebagai Ustaz sekaligus Pimpinan dari Pondok Pesantren NU, kini tengah disorot tajam setelah Santriwatinya sendiri yang berusia 17 tahun menjadi korban perbuatan tak senonoh yang menistakan kehormatan dunia pendidikan agama. 

    Korban berinisial KS, bersama orang tuanya secara resmi melaporkan pelaku berinisial NQ ke Polres Kotawaringin Barat, pada Senin (06/10/2025). Dalam pelaporan tersebut korban dan keluarganya juga didampingi oleh perpanjangan tangan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Dimas Bagus Jufriansyah yang bertindak sebagai pendamping korban beserta tim Lembaga Investigasi Negara (LIN), Media FAKSI BHNM dan TARGET OPERASI. Meskipun sebelumnya telah diadakan proses mediasi yang menghasilkan kesepakatan damai, dengan berbagai pertimbangan langkah hukum ini diambil oleh pihak keluarga termasuk munculnya nama-nama baru yang sebelumnya menjadi korban namun selama ini bungkam. Fakta ini memunculkan dugaan kuat bahwa tindakan bejat tersebut bukan kasus tunggal, melainkan telah berlangsung sistematis dan berulang.

    Dalam laporan yang diterima Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), disebutkan bahwa tindakan asusila terjadi pada Rabu (01/10/2025) sekitar pukul 18.30 WIB di dalam lingkungan Pondok Pesantren (Ponpes). Dengan dalih disuruh membersihkan kamar, Pelaku diduga melakukan tindakan tidak senonoh terhadap korban termasuk menyentuh bagian tubuh  yang seharusnya tidak disentuh. Aksi bejat tersebut terjadi ketika korban berada dalam posisi tidak berdaya dan takut karena status pelaku sebagai Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren yang disegani. 

    Pasca kejadian, mediasi sempat dilakukan di Kantor Desa Pangkalan Tiga, pada Kamis (02/10/2025) dengan dihadiri oleh Kepala Desa dan Perangkat Desa, sejumlah Tokoh Masyarakat, juga Kedua belah pihak. Dalam berita acara, NQ mengakui semua perbuatannya dan meminta maaf. Mediasi pun ditutup dengan kesepakatan penyelesaian secara kekeluargaan. Namun keputusan berubah, setelah adanya mediasi muncul nama-nama baru Santriwati yang diduga mengalami perlakuan serupa. 

    Ayah korban (S), dengan suara bergetar menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi pelaku asusila untuk berlindung di balik simbol agama. "Awalnya kami ingin permasalahan ini selesai secara baik-baik, tapi setelah tahu adanya korban lain kami tidak bisa tinggal diam. Ini bukan hanya soal kata maaf saja, Ini adalah kejahatan moral. Kami tidak bisa lagi menutup mata. Tidak ada damai untuk kejahatan seperti ini,” tegasnya dengan nada getir di hadapan para awak media usai melapor ke Unit PPA Polres Kobar.

    Pendamping dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Dimas Bagus Jufriansyah bersama keluarga korban akhirnya menolak kesepakatan damai dan menyerahkan sepenuhnya ke jalur hukum. Dimas juga menjelaskan bahwa korban kini mendapat perlindungan psikologis dan hukum secara penuh. "Korban sudah trauma, tapi dia berani bersuara demi yang lain. Kami akan selalu mendampingi korban agar tidak ada lagi tekanan atau intimidasi. Proses hukum harus berjalan secara objektif dan transparan,” ungkap Dimas.

    Kasus ini semakin menyeruak dan menguat setelah seorang warga Desa Bumi Harjo berinisial (S), mengungkapkan bahwa anaknya juga pernah menjadi korban pelecehan serupa oleh  NQ sekitar dua tahun yang lalu. Karena trauma dan ketakutan, mereka kala itu memilih diam dan akhirnya memindahkan anaknya ke Pondok Pesantren lain. Namun, pada saat mendengar kasus terbaru yang menimpa KS, ia kini bertekad untuk menjadi saksi dan menyerahkan bukti tambahan. “Sudah cukup, jangan sampai ada lagi anak-anak Santriwati yang jadi korban. Anak saya pada waktu itu diganggu juga, karena trauma dan tidak mau memperpanjang masalah saya memilih memindahkan anak saya ke Pondok Pesantren lain setelah psikis nya membaik. Dengan adanya kasus ini, sekarang kami berani bicara demi keadilan,” ungkapnya tegas.

     Kepolisian Resor Kotawaringin Barat (Polres Kobar) melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) telah menerima laporan resmi tersebut dan saat ini sedang melakukan penyelidikan intensif, termasuk memeriksa sejumlah saksi dan mendalami kronologi kejadian serta kemungkinan adanya korban lain dan pola pelecehan berulang. Proses penyelidikan juga akan melibatkan psikolog dari Kemenkes untuk memastikan kondisi korban tetap stabil selama proses hukum berjalan. 

    Berdasarkan hukum yang berlaku, kasus perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014), pelaku dapat dikenai pidana penjara paling singkat 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda hingga Rp 5 miliar.

    Selain itu, karena pelaku berstatus sebagai Pendidik dan Pemimpin Pondok Pesantren, maka ancaman hukumannya dapat ditambah Sepertiga dari pidana pokok sebagaimana di atur dalam Pasal 82 ayat (2).

    Jika terbukti bersalah, NQ juga dapat dijatuhi sanksi tambahan berupa :

- Kebiri kimia atau pemasangan alat pendeteksi elektronik,

- Pengumuman identitas pelaku di media publik, dan

- Pencabutan hak untuk menjadi pendidik atau memimpin Lembaga Pendidikan. 

    Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan dan keagamaan. Di saat Pondok Pesantren semestinya menjadi tempat menuntut ilmu dan memperdalam iman, justru ternodai oleh oknum tak bermoral yang menyalahgunakan kepercayaan umat untuk memuaskan nafsu bejatnya.

     “Tidak ada alasan untuk menutupi dosa besar di balik jubah kesalehan. Para Kyai, Ustaz, dan Pimpinan Pondok harus bersih dari perilaku Predator bejat tak bermoral. Kalau terbukti bersalah, hukum harus ditegakkan tanpa kompromi!” tegas Agus, salah satu aktivis kemanusiaan di Kobar. Agus pun menyuarakan perlunya reformasi total dalam sistem pengawasan pondok pesantren, agar setiap pengasuh dan guru memiliki sertifikat kelayakan moral dan rekam jejak pendidikan yang transparan.

    Kasus ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi cermin retaknya moral dan nurani di balik simbol-simbol agama.
Masyarakat berharap agar aparat penegak hukum tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga membangun sistem pencegahan agar peristiwa kelam seperti ini tidak terulang lagi.

“Pesantren harus menjadi tempat lahirnya akhlak mulia, bukan tempat di mana anak-anak justru kehilangan harga diri dan masa depannya,” ungkap Dimas dari LPSK menutup pernyataannya.

    Kasus ini menjadi ujian bagi penegakan hukum di Kobar. Aparat harus menunjukkan bahwa tak ada jubah yang bisa menutupi kejahatan. Hukum tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Siapa pun pelakunya, jika bersalah, harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di muka hukum demi keadilan, demi anak-anak bangsa, dan demi nama baik lembaga keagamaan itu sendiri.

( TIM TO )