“ BUNTU DI BIROKRASI, KELUARGA BESAR NORSEMAH TEMPUH JALUR HUKUM : SURAT KUASA KHUSUS DITANDATANGANI, BERKAS RESMI SIAP DIAJUKAN KE PENGADILAN NEGERI I B PANGKALAN BUN ”

“ BUNTU DI BIROKRASI, KELUARGA BESAR NORSEMAH TEMPUH JALUR HUKUM : SURAT KUASA KHUSUS DITANDATANGANI, BERKAS RESMI SIAP DIAJUKAN KE PENGADILAN NEGERI I B PANGKALAN BUN ”


 
TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :

    Diamnya birokrasi akhirnya dipatahkan oleh langkah tegas rakyat kecil. Setelah sekian lama melalui jalan panjang penuh kesabaran dan harapan akan penyelesaian secara musyawarah mufakat yang tak kunjung datang dari pemerintah daerah, keluarga besar almarhumah Norsemah binti Abdul Gani akhirnya mengambil langkah tegas. Kebuntuan demi kebuntuan yang mereka hadapi di jalur birokrasi pemerintahan membuat mereka kini resmi menempuh jalur hukum melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri I B Pangkalan Bun.

   Kepastian itu ditandai dengan penandatanganan Surat Kuasa Khusus oleh pihak ahli waris kepada tim pengacara yang akan mendampingi perjuangan hukum mereka. Meski demikian, sampai saat ini pihak keluarga masih merahasiakan nama kuasa hukum yang akan mewakili di persidangan sebagai strategi dan upaya melindungi jalannya perkara dari tekanan pihak luar. 

    Perwakilan keluarga besar Norsemah binti Abdul Gani, Fitri Boga Artanti, menegaskan bahwa semua berkas dan surat kuasa khusus pun telah diserahkan kepada tim pengacara. Langkah ini diambil bukan karena keluarga menyerah, melainkan karena pintu musyawarah yang selama ini mereka harapkan ditutup rapat oleh birokrasi. “Kami sudah berusaha dengan cara-cara yang santun dan damai: menyurati, mendatangi kantor pemerintah,bahkan menunggu berbulan-bulan. Kami selalu mencari jalan dan solusi terbaik karena tidak ingin jalan damai ini berakhir. Tapi kalau suara rakyat tidak juga didengar, musyawarah ditutup rapat oleh birokrasi,apalagi pilihan kami selain jalur hukum? Kami yakin keadilan tidak boleh berhenti di ruang-ruang birokrasi. Kami masih percaya bahwa hukum akan berpihak kepada rakyat kecil meski harus diperjuangkan di ruang sidang,” Tegas Fitri dengan penuh optimisme. 

    Sebelumnya, keluarga besar Norsemah telah melalui tahapan birokrasi di tingkat desa. Tiga kali surat dilayangkan kepada Kepala Desa dan Pemerintah Desa Sungai Bedaun dalam kurun waktu satu bulan pada Januari 2025 berujung tidak mendapatkan respon bahkan terkesan diabaikan tanpa solusi. Selanjutnya, Keluarga besar Norsemah melayangkan dua kali surat permohonan untuk penyelesaian di tingkat kecamatan Kumai yang akhirnya difasilitasi untuk mediasi tetapi mengalami kebuntuan dalam dua kali mediasi yang dilakukan. Akhirnya pihak keluarga Norsemah melayangkan surat resmi kepada pemerintah daerah Kabupaten Kotawaringin Barat dan tim satgas PKS (Penanganan Konflik Sosial) sejak Bulan Maret sampai April 2025, bahkan melibatkan tembusan surat kepada 16 instansi mulai dari Bupati, DPRD, ATR/BPN, hingga aparat penegak hukum. Namun, respons yang mereka harapkan tak pernah datang. Bahkan perwakilan dari pihak keluarga sudah mencoba untuk konfirmasi langsung kepada sekretaris daerah (Sekda) Kobar berujung kesunyian birokrasi dengan alasan rapat mendadak yang bahkan tidak ada waktu untuk menemui rakyatnya walaupun hanya untuk waktu 5 menit saja. Tidak putus asa, pihak keluarga Norsemah tetap datang ke Kantor Bupati dan ingin bertemu langsung untuk menyampaikan permasalahan tersebut tetapi orang nomor satu di Kobar tidak berada di tempat karena tugas di luar kota. Akhirnya mereka bertemu dengan Wakil Bupati Suyanto ditengah kesibukannya tetapi masih bisa menyempatkan waktu untuk mendengarkan suara rakyatnya dan mendapatkan pengakuan yang mengejutkan bahwa orang nomor dua di Kobar tersebut tidak pernah mengetahui adanya pengaduan masyarakat. 

    Kondisi ini menjadi gambaran nyata lemahnya koordinasi dan sensitivitas birokrasi terhadap jeritan rakyat kecil. Musyawarah mufakat yang mereka junjung tinggi gagal diwujudkan karena seolah-olah suara rakyat terhenti di meja birokrasi yang bisu. Kini, dengan pengajuan gugatan secara resmi, keluarga besar Norsemah menegaskan bahwa perjuangan atas tanah seluas 253 hektar di Desa Sungai Bedaun, Kecamatan Kumai, bukan sekadar soal sengketa agraria, melainkan tentang martabat, warisan leluhur, dan masa depan generasi penerus. Ini adalah tentang rakyat kecil yang terpinggirkan dalam sistem yang seharusnya melindungi mereka. 

    Musyawarah mufakat yang diagungkan dalam budaya bangsa ternyata tumbang di meja birokrasi, dan rakyat dipaksa mencari keadilan lewat jalur yang lebih keras yaitu Pengadilan. 

    Bagi keluarga besar Norsemah, keputusan menempuh jalur hukum adalah bentuk keyakinan bahwa keadilan masih ada di negeri ini. Mereka tidak turun ke jalan untuk berdemonstrasi, tidak pula memilih jalan kekerasan. Yang mereka pilih adalah jalan konstitusional: menempuh peradilan demi kepastian hukum. “Kami berharap gugatan ini membuka jalan terang. Kami tidak menuntut lebih, hanya ingin apa yang menjadi hak kami dikembalikan ataupun di selesaikan. Semoga hakim, pengadilan, dan semua pihak yang terlibat benar-benar menegakkan hukum dengan adil. Karena tanah ini bukan hanya warisan leluhur, tapi juga hak hidup anak cucu kami,” tambah Masransyah, cucu dari Norsemah binti Abdul Gani. 

    Langkah keluarga besar Norsemah ini sekaligus menjadi kritik moral bagi pemerintah daerah. Bahwa ketika rakyat harus beralih ke jalur hukum, itu berarti jalur musyawarah yang seharusnya dijaga pemerintah telah gagal dijalankan. Bagaimana mungkin rakyat harus berkeliling kantor, menunggu jawaban berbulan-bulan, namun yang mereka hadapi hanya pintu tertutup dan pejabat yang tidak tahu-menahu? Kasus ini memperlihatkan betapa rapuhnya sistem penyelesaian konflik agraria di daerah. Padahal, konflik tanah adalah bom waktu sosial yang sewaktu-waktu bisa meledak jika rakyat kehilangan kesabaran. 

    Perjuangan keluarga besar Norsemah binti Abdul Gani kini memasuki babak baru: dari ruang-ruang birokrasi yang sepi jawaban menuju ruang sidang pengadilan yang diharapkan bisa memberi kepastian. Publik kini menanti: apakah Pengadilan Negeri Pangkalan Bun akan benar-benar menjadi benteng terakhir keadilan bagi rakyat kecil? Ataukah sengketa agraria ini hanya akan menambah deretan panjang kisah getir rakyat yang kalah melawan kuasa modal? Yang pasti, kisah keluarga Norsemah binti Abdul gani adalah pengingat keras : jangan biarkan birokrasi yang tuli memaksa rakyat kecil mengajarkan kembali arti keadilan kepada negara. 

( TIM TO )