" PEMALSUAN IJAZAH OLEH KADES AMIN JAYA : VONIS RINGAN, PASAL DIPERSEMPIT, DAN DUGAAN DALANG  DI BALIK LAYAR "

" PEMALSUAN IJAZAH OLEH KADES AMIN JAYA : VONIS RINGAN, PASAL DIPERSEMPIT, DAN DUGAAN DALANG  DI BALIK LAYAR "

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :

    Sidang kasus pemalsuan ijazah yang melibatkan Sri Wahyuni binti Muksin, Kepala Desa Amin Jaya, Kecamatan Pangkalan Banteng digelar pada Selasa (07/01/2025) di Ruang Sidang Kartika, Pengadilan Negeri Pangkalan Bun memunculkan pertanyaan besar terkait keadilan dan penegakan hukum di tingkat lokal. Sidang Ke-9 dengan 3 kali penundaan dalam kurun waktu 11 minggu dalam agenda pengucapan putusan menjatuhkan vonis 5 bulan penjara terhadap Terdakwa dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya menuntut 8 bulan penjara. Seperti yang kita ketahui, dalam persidangan sebelumnya tepatnya pada Sidang kelima dengan agenda pemeriksaan terdakwa dan barang bukti, Terdakwa Sri Wahyuni secara tegas mengakui bahwa ia memalsukan ijazah secara manual. Namun, keanehan muncul ketika tuntutan yang awalnya mencakup Pasal 263 KUHP dan Pasal 266 KUHP tiba-tiba diarahkan hanya ke Pasal 266 KUHP.

    Langkah ini memunculkan dugaan bahwa kasus ini bukan sekedar pelanggaran sederhana oleh satu individu, tetapi ada kemungkinan keterlibatan pihak lain yang lebih besar di balik layar.

Pengakuan Terdakwa: Fakta yang Mengguncang. 

    Dalam persidangan kelima, Pada Selasa (26/11/2024) Sri Wahyuni dengan gamblang mengakui bahwa ia melakukan pemalsuan ijazah secara manual untuk memenuhi syarat pencalonan kepala desa pada Pilkades Amin Jaya (26/10/2023). Berikut adalah rincian pasal yang relevan:

1. Pasal 263 ayat (1) KUHP:
"Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal dengan maksud menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakannya, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun."
2. Pasal 266 ayat (1) KUHP:
"Barang siapa yang menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."

    Meski kedua pasal ini seharusnya dijadikan dasar tuntutan terhadap terdakwa Sri Wahyuni, tetapi kasus ini hanya difokuskan pada Pasal 266 KUHP. Pertanyaan besar muncul: Mengapa Pasal 263 KUHP yang relevan dengan tindakan pemalsuan surat tidak diterapkan?

Dugaan Dalang dan Keterlibatan Pihak Lain. 

    Pemalsuan dokumen, terutama Ijazah untuk keperluan pencalonan Jabatan publik, hampir tidak mungkin dilakukan tanpa keterlibatan pihak lain. Apakah ada oknum dalam lingkup pemerintahan desa atau Panitia Pemilihan yang mempermudah lolosnya dokumen palsu tersebut?

Dugaan ini diperkuat oleh fakta bahwa:

- Proses Verifikasi yang Lemah: Ijazah palsu dapat lolos dalam tahapan verifikasi administrasi.

- Keputusan Mengarahkan Pasal: Fokus pada Pasal 266 tanpa melibatkan Pasal 263 menimbulkan kecurigaan bahwa ada upaya melindungi pihak tertentu.

    Seorang pengamat hukum lokal, yang enggan disebutkan namanya, menyatakan:
"Dalam kasus seperti ini, biasanya ada jaringan yang lebih besar. Sulit membayangkan bahwa seorang individu bisa memalsukan dokumen penting tanpa bantuan atau pembiaran dari pihak lain. Ini harus diusut tuntas."

Vonis Ringan: Pesan yang Salah untuk Publik. 

   Vonis lima bulan penjara yang dijatuhkan kepada Sri Wahyuni menuai kritik tajam. Para aktivis anti-korupsi dan pengamat demokrasi menilai bahwa hukuman ini tidak memberikan efek jera yang cukup, terutama bagi pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan moral bagi masyarakat.

    “Vonis ini lebih seperti formalitas daripada upaya serius untuk menegakkan keadilan. Masyarakat akan melihat ini sebagai pesan bahwa kejahatan kerah putih, bahkan oleh pejabat publik, dapat diselesaikan dengan hukuman ringan,” Ungkap seorang aktivis anti-korupsi di Pangkalan Bun.

Sorotan terhadap Penegakan Hukum. 

    Kasus ini juga mencerminkan kelemahan sistem hukum dalam menangani kejahatan kerah putih di tingkat lokal. Keputusan untuk mengabaikan Pasal 263 dalam tuntutan menciptakan preseden buruk, di mana kejahatan serius seperti pemalsuan dokumen hanya dianggap sebagai pelanggaran administratif.

    Pengamat hukum lainnya menambahkan:
"Mengapa Pasal 263 dihilangkan? Ini adalah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh jaksa penuntut. Publik perlu tahu apakah ini murni kelalaian atau ada tekanan dari pihak tertentu."

Pentingnya Transparansi dan Reformasi Sistem Pemilihan Kepala Desa. 

    Kasus ini menjadi alarm bagi semua pihak untuk memperbaiki sistem pemilihan kepala desa. Beberapa rekomendasi penting meliputi:

1. Audit Menyeluruh: Lakukan audit terhadap proses verifikasi dokumen dalam pemilihan kepala desa untuk memastikan tidak ada dokumen palsu yang lolos.


2. Transparansi dalam Penegakan Hukum: Penegak hukum harus menjelaskan secara terbuka alasan mengapa Pasal 263 tidak diterapkan dalam kasus ini.


3. Penegakan Aturan yang Ketat: Semua calon pemimpin publik harus melewati proses seleksi yang ketat, termasuk pemeriksaan independen atas dokumen-dokumen penting.

Membongkar Akar Masalah. 

    Kasus pemalsuan ijazah Sri Wahyuni bukan hanya sekedar masalah individu, tetapi cerminan masalah sistemik yang lebih besar. Jika kasus ini tidak diusut tuntas hingga akar-akarnya, kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi lokal akan semakin tergerus.

    Masyarakat dan aktivis harus terus mendorong transparansi dalam proses hukum dan memastikan bahwa kejahatan kerah putih sekecil apa pun, tidak dibiarkan tanpa adanya konsekuensi yang setimpal. Jangan biarkan kasus ini berakhir sebagai potret kelam demokrasi lokal yang dibiarkan tanpa penyelesaian.

( SUBAN / IMAM )