" VONIS RINGAN KASUS PEMALSUAN SURAT IJAZAH : SRI WAHYUNI DIJATUHI HUKUMAN 5 BULAN PENJARA OLEH PENGADILAN NEGERI PANGKALAN BUN "

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Kasus yang menghebohkan publik Kabupaten Kotawaringin Barat akhirnya menemui titik akhir. Sri Wahyuni binti Muksin, Kepala Desa Amin Jaya, Kecamatan Pangkalan Banteng dijatuhi vonis lima bulan penjara oleh Pengadilan Negeri I B Pangkalan Bun atas perkara pemalsuan surat ijazah yang digunakannya untuk syarat mencalonkan diri sebagai kepala desa. Dengan nomor perkara 352/Pid.B/2024/PN.P.Bun, kasus ini menjadi sorotan tajam, mencerminkan ironi di tengah upaya membangun demokrasi yang bersih dan berintegritas.
Sidang pengucapan putusan dipimpin oleh Hakim Ketua Ikha Tina, S.H., M.Hum., didampingi Hakim Anggota Widana Anggara Putra, S.H., M.Hum., dan Firmansyah, S.H., M.H., serta Panitera Pengganti Hariyanto. Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hadir dalam persidangan, Ari Andhika Thomas, S.H., mewakili tim jaksa lainnya, Maudyna Setyo Wardhani, S.H., dan Budi Murwanto, S.H., tetap bersikukuh pada tuntutan delapan bulan penjara yang diajukan pada sidang sebelumnya.
Pelanggaran Berat yang Berujung Ringan.
Sri Wahyuni dijerat dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
"Barang siapa yang menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."
Namun, vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim pada Sidang Kesembilan yang digelar Selasa (07/01/2025) hanya lima bulan penjara. Vonis ini lebih ringan dibandingkan ancaman maksimal dalam pasal tersebut, meskipun kasus ini menyangkut pejabat publik yang seharusnya menjadi contoh moral dan integritas bagi masyarakat.
Pertimbangan Majelis Hakim: Keadilan atau Toleransi Berlebihan?
Majelis Hakim mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan terdakwa, di antaranya:
1. Sikap Baik Terdakwa: Sri Wahyuni menunjukkan sikap sopan selama persidangan dan memberikan keterangan yang tidak berbelit-belit.
2. Penyesalan dan Itikad Baik: Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya. Ia juga menyerahkan fotokopi ijazah asli kepada panitia Pilkades setelah mengetahui keberadaannya.
3. Kondisi Keluarga: Sebagai ibu dua anak di bawah umur, terdakwa dianggap membutuhkan kesempatan untuk memberikan pengasuhan dan kasih sayang.
Namun, vonis ini memunculkan kritik tajam. Sebagian pihak menilai bahwa pertimbangan ini terlalu longgar, mengingat dampak perbuatannya terhadap kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan desa.
Sidang ini merupakan yang ke-9 dari total 11 minggu persidangan, dengan tiga kali pembatalan sebelumnya. Persidangan yang penuh dinamika ini semakin memperlihatkan lemahnya komitmen penyelesaian perkara yang seharusnya menjadi prioritas, terutama karena kasus ini menyangkut kejahatan dalam lingkup jabatan publik.
Kritik Tajam: Apa Pesan bagi Publik?
Vonis lima bulan ini mengundang banyak pertanyaan. Apakah hukuman ini cukup memberikan efek jera bagi pelaku pemalsuan dokumen? Bagaimana pesan yang disampaikan kepada masyarakat tentang pentingnya kejujuran dan integritas?
Sebagai seorang pejabat publik, Sri Wahyuni telah mencederai kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Pemalsuan dokumen resmi adalah tindakan yang tidak hanya melanggar hukum tetapi juga merusak tatanan demokrasi di tingkat lokal. Kasus ini menjadi pengingat bahwa jabatan publik tidak boleh diraih dengan cara curang.
Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam menilai calon pemimpin mereka. Jangan sampai kepercayaan diberikan kepada individu yang meraih jabatan dengan cara-cara tidak sah. Pemalsuan dokumen bukan sekadar tindakan administratif, melainkan cermin dari kurangnya integritas dan tanggung jawab moral seseorang.
Hakim Ketua Ikha Tina, S.H., M.Hum., memberikan waktu satu minggu kepada terdakwa untuk mempertimbangkan apakah akan menerima vonis tersebut atau mengajukan banding. Hal ini sebagai pertimbangan bahwa terdakwa belum didampingi kuasa hukumnya, Supriadi, S.H. Sidang di akhiri dengan penundaan untuk memberikan waktu kepada terdakwa dalam menentukan sikap hukum selanjutnya.
Vonis ini menjadi refleksi sekaligus kritik terhadap penegakan hukum dan moralitas pejabat publik. Meskipun aspek kemanusiaan dipertimbangkan, masyarakat berhak untuk mendapatkan keadilan yang tidak hanya bersifat simbolis tetapi juga mendidik. Apakah hukuman ringan ini akan menjadi preseden buruk bagi keadilan, ataukah justru menjadi pengingat bagi calon pejabat lain untuk tidak bermain-main dengan hukum? Hanya waktu yang akan menjawab dan masyarakat berhak untuk menilai.
( MASRAN )