" SKANDAL AGUNAN KPR DI BANK BTN KCP PANGKALAN BUN TERBONGKAR, MEDIASI TERKUNCI TANPA SOLUSI "
TARGET OPERASI - KOTAWARINGIN BARAT :
Sebuah mediasi penting namun mengejutkan gagal menemukan solusi di kantor Bank BTN KCP Pangkalan Bun yang beralamat di Jalan Iskandar, Kelurahan Madurejo, Kecamatan Arut Selatan, pada Kamis (05/06/2025) skj. 13.30 WIB. Mediasi yang dimaksud mempertemukan Saudara R, pemegang sertifikat asli SHM No. 00710 atas nama Ardianto, dengan JP, nasabah Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank BTN, serta perwakilan dari Bank BTN (GR) dan Notaris H.
Persoalan ini mencuat ketika diketahui bahwa JP memiliki perjanjian kredit dengan Bank BTN untuk rumah di Perumahan Griya Bulik Indah, Desa Kujan, Blok D-02, sejak 20 Juni 2017 dengan nilai angsuran Rp883.200 per bulan. Namun yang mencengangkan, sertifikat rumah yang seharusnya menjadi agunan dalam kredit KPR tersebut tidak pernah berada di tangan bank, melainkan sejak awal dikuasai oleh Saudara R, yang mengklaim telah membeli kavling tersebut jauh sebelumnya yakni pada Agustus 2016 dari MR, yang diketahui sebagai perwakilan dari Developer CV. DP.

Mediasi ini bermula dari Berita Acara Pengaduan Nasabah yang dilayangkan pada Jumat, 23 Mei 2025, menyusul kebuntuan yang terjadi saat JP dan R mencoba mendapatkan kejelasan hukum dari Notaris H. Kendati pertemuan sebelumnya telah dilakukan, upaya klarifikasi dari Notaris H justru semakin menimbulkan pertanyaan besar: mengapa notaris bersikeras mengajukan surat kehilangan sertifikat, padahal dokumen asli jelas-jelas berada di tangan Saudara R?
Alih-alih menyelesaikan persoalan, Notaris H justru berencana melaporkan kehilangan sertifikat tersebut sebagai upaya administratif setelah kurun waktu 8 tahun saudara JP melakukan perjanjian kredit, sebuah langkah yang sangat disorot oleh kedua belah pihak dan berpotensi menimbulkan konflik hukum baru. Dalam mediasi kemarin, tidak satu pun baik dari pihak bank maupun notaris dapat memberikan solusi konkrit.
Fakta bahwa Bank BTN telah menjalankan proses KPR terhadap rumah yang tidak memiliki jaminan fisik berupa sertifikat merupakan sorotan tajam dalam peristiwa ini. Praktik ini membuka celah besar terhadap potensi maladministrasi perbankan dan pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dalam sistem fidusia, di mana seharusnya hak tanggungan atau jaminan kredit harus sah dan melekat secara hukum kepada pemberi pinjaman.
Pihak JP selaku nasabah mengaku hanya menginginkan pengembalian dana dari Bank BTN bila memang hak atas rumah sepenuhnya dikembalikan kepada Saudara R. Di sisi lain, Saudara R yang telah mengantongi sertifikat asli tidak mempersoalkan sengketa ini meskipun telah mengorbankan banyak waktu, tenaga, dan biaya selama urusan untuk mencari kejelasan atas status properti yang dimilikinya.
Keterlibatan Notaris H dalam proses akad kredit dengan tidak memastikan bahwa sertifikat sebagai agunan berada dalam penguasaan pihak bank menimbulkan kecurigaan dan desakan publik akan adanya potensi kelalaian jabatan yang bisa berujung pada tindak pidana sesuai UU Jabatan Notaris dan UU Perlindungan Konsumen.
Bila mediasi tidak menemukan solusi secara musyawarah mufakat, kasus ini berpotensi masuk ke ranah hukum, dengan indikasi pelanggaran fidusia, penipuan administratif, hingga potensi tindak pidana pencatatan palsu dalam dokumen notarial.
Peristiwa ini menjadi peringatan keras bagi para konsumen KPR dan lembaga keuangan agar selalu memverifikasi status agunan secara menyeluruh. Kasus seperti ini membuktikan bahwa kelalaian administratif kecil bisa berujung pada konflik hukum besar yang merugikan berbagai pihak, bahkan membuka celah untuk tindakan pidana yang lebih serius.
Bank BTN KCP Pangkalan Bun dan Notaris H diharapkan segera memberikan klarifikasi resmi dan mencari jalan keluar terbaik bagi semua pihak yang terlibat sebelum persoalan ini berubah menjadi krisis hukum dan reputasi.
( TIM TO )