" KETIDAKADILAN DI MEJA HIJAU : MALING SAWIT DAN AYAM DIHUKUM BERAT, KADES PEMALSU IJAZAH DITUNTUT RINGAN SUNGGUH IRONI HUKUM YANG BERWAJAH GANDA "

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Perbedaan tajam dalam penegakan hukum kembali menjadi sorotan setelah sidang kasus pemalsuan ijazah oleh terdakwa Kepala Desa Amin Jaya Sri Wahyuni binti Muksin terus berlarut-larut di Pengadilan Negeri I B Pangkalan Bun. Di tengah kasus ini, banyak pihak membandingkan ringannya tuntutan jaksa kepada Sri Wahyuni yang hanya 8 bulan penjara dengan hukuman berat yang dijatuhkan kepada rakyat kecil yang melakukan pelanggaran hukum demi bertahan hidup.
Kalau kita bicara tentang keadilan, Keadilan bagi siapa yang kita pertanyaan? Apakah keadilan bagi orang kaya dan pejabat yang mempunyai akses untuk membayar pengacara - pengacara top atau para penegak hukum yang bisa diajak kompromi untuk melindungi kejahatan dan kepentingannya? Atau apakah keadilan bagi rakyat kecil yang tidak punya pilihan selain menyerah pada kesalahan dan nasib buruknya?
Kasus ini memicu pertanyaan serius tentang keadilan hukum di Indonesia terlebih di Kabupaten Kotawaringin Barat. Di satu sisi, seorang kepala desa yang memalsukan ijazah demi meraih jabatan strategis, yang seharusnya menjadi contoh integritas, dituntut ringan. Di sisi lain, rakyat kecil seperti pencuri sawit atau ayam untuk mengisi perut dihukum berat, bahkan hingga bertahun-tahun penjara. Fenomena ini mencerminkan betapa timpangnya keadilan bagi rakyat kecil dibandingkan mereka yang memiliki kuasa dan akses.
"Rakyat Kecil Dihukum Berat, Pemimpin Curang Dipermudah"
Seorang petani kecil yang tertangkap mencuri tandan sawit senilai Rp100.000 pernah divonis 2 tahun penjara. Di lain waktu, seorang maling ayam yang mencuri demi memberi makan anaknya dihukum 2 tahun penjara. Hukuman seperti ini kerap dijatuhkan tanpa pertimbangan konteks sosial atau keadilan substantif. Berbeda dengan itu, Kepala Desa Amin Jaya Sri Wahyuni, yang terbukti memalsukan ijazah untuk menduduki jabatan kepala desa, hanya dituntut 8 bulan oleh jaksa.
“Tindakan memalsukan ijazah bukan sekadar pelanggaran pidana, tetapi juga penghinaan terhadap sistem pendidikan dan demokrasi. Tindakan ini merusak kredibilitas pemimpin lokal, bahkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum,” kata seorang pengamat hukum di Pangkalan Bun.
Terdakwa Sri Wahyuni, yang masih aktif menjabat sebagai kepala desa selama proses hukum berlangsung, telah mencederai kepercayaan publik. Meskipun terbukti melakukan tindak pidana, jabatan kepala desa yang disandangnya belum dicopot, menambah deretan ironi dalam kasus ini. "Ini seperti memberi pesan bahwa hukum hanya keras bagi mereka yang tak berdaya," tambahnya.
Penanganan kasus ini juga menyoroti kelemahan dalam sistem peradilan pidana. Penundaan sidang yang berulang-ulang, ringannya tuntutan jaksa, dan masih aktifnya terdakwa sebagai kepala desa membuat publik mempertanyakan keberpihakan penegak hukum.
“Apakah keadilan hanya berlaku bagi mereka yang punya koneksi dan uang? Bagaimana mungkin seseorang yang melakukan kejahatan serius terhadap kepercayaan publik dituntut lebih ringan dibandingkan rakyat miskin yang mencuri untuk bertahan hidup?” kritik tajam seorang aktivis antikorupsi.
Kasus ini juga menjadi peringatan keras bahwa demokrasi desa tengah berada dalam ancaman. Jika pemimpin yang terpilih menggunakan cara curang sejak awal, bagaimana ia bisa dipercaya menjalankan tugasnya dengan jujur?
"Edukasi untuk Masyarakat: Hukum Bukan Milik Orang Kecil Saja"
Perbedaan perlakuan hukum ini harus menjadi pelajaran bagi masyarakat untuk lebih kritis terhadap sistem hukum yang berjalan. Hukum seharusnya tidak hanya menjadi alat untuk menghukum rakyat kecil, tetapi juga untuk menegakkan keadilan yang sesungguhnya, terutama bagi pelanggar hukum yang merusak tatanan sosial dan kepercayaan publik.
“Kasus ini menjadi cermin buruk penegakan hukum di Indonesia. Kita harus mendesak reformasi di lembaga peradilan dan penegakan hukum agar tidak lagi terjadi diskriminasi seperti ini,” ujar seorang akademisi hukum.
Publik juga diimbau untuk lebih tegas mengawasi proses hukum, terutama yang melibatkan pejabat publik. Demokrasi tidak boleh dikotori oleh pemimpin yang menggunakan cara culas untuk meraih jabatan.
"Masa Depan Hukum di Persimpangan"
Sidang lanjutan kasus Sri Wahyuni yang akan digelar pada Senin, 23 Desember 2024 akan menjadi ujian bagi lembaga peradilan. Apakah hakim akan menunjukkan ketegasan dalam memutuskan perkara ini, atau justru membiarkan hukum semakin dipermainkan oleh mereka yang berkuasa?
Kasus ini bukan hanya tentang pemalsuan ijazah, tetapi juga tentang wajah hukum Indonesia. Rakyat menunggu keadilan, bukan teater sandiwara di ruang sidang. Satu hal yang pasti, keadilan yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas hanya akan memperpanjang daftar dosa sejarah penegakan hukum di negeri ini.
Kita harus tetap mengawal proses hukum ini, sebagai panggilan dan tanggung jawab moril kita sebagai kontrol sosial karena demokrasi dan keadilan bukan milik penguasa, melainkan milik rakyat Indonesia.
(SUBAN/IMAM/MASRAN)