" TERDAKWA PEMALSUAN IJAZAH SRI WAHYUNI MASIH BERKUASA, HUKUM ATAU HIBURAN DI MEJA PERADILAN? "

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Kasus pemalsuan ijazah dengan terdakwa Sri Wahyuni binti Muksin semakin menambah deretan ironi dalam penegakan hukum di Indonesia terlebih di Kabupaten Kotawaringin Barat. Hingga sidang Ketujuh, dengan dua kali penundaan, dalam kurun waktu Sembilan Minggu terdakwa yang tengah menjalani proses hukum justru masih aktif menjabat sebagai Kepala Desa. Situasi ini menuai kritik tajam dari masyarakat yang mempertanyakan moralitas, efektivitas hukum, dan integritas pemerintah daerah Kabupaten Kotawaringin Barat dalam menyikapi kasus ini.
Sidang ketujuh yang digelar pada Selasa (17/12/2024) di ruang sidang Kartika, Pengadilan Negeri Kelas I B Pangkalan Bun, hanya berlangsung dua menit. Dipimpin oleh Hakim Ketua Ikha Tina, S.H., M.Hum, sidang yang dijadwalkan mendengarkan pembelaan/pleidoi justru berakhir dengan penundaan lantaran terdakwa Sri Wahyuni mengaku belum siap. Kuasa hukumnya, Supriadi, S.H., memohon penundaan hingga pekan depan, tepatnya pada Senin, 23 Desember 2024.
Hakim Ketua pun mengabulkan permohonan tersebut, namun tanpa menunjukkan ketegasan yang diharapkan publik. “Sidang ditunda satu kali lagi dan akan di lanjutkan pada Senin, 23 Desember 2024 mendatang." Tutup Hakim Ketua singkat sambil mengetok palu persidangan.
Terdakwa Masih Menjabat: Dimana Ketegasan Pemerintah?
Meski berstatus terdakwa dalam kasus pemalsuan ijazah, Sri Wahyuni masih melenggang bebas dan tetap menjalankan tugasnya sebagai Kepala Desa. Hal ini menimbulkan kemarahan publik dan memicu pertanyaan tentang sikap pemerintah daerah serta etika kepemimpinan yang patut ditegakkan.
“Ini aneh! Bagaimana mungkin seseorang yang sedang menjalani proses hukum pidana apalagi pemalsuan ijazah untuk syarat pencalonan diri sebagai Kades masih dipercaya menjabat sebagai kepala desa? Di mana sikap tegas dari pemerintah?” ujar seorang warga Pangkalan Bun dengan nada geram.
Ketidaktegasan ini menjadi preseden buruk dalam tatanan demokrasi di tingkat desa. Pemimpin yang seharusnya menjadi contoh teladan bagi masyarakat justru mempertontonkan perilaku yang melanggar hukum. Ironisnya, hingga kini tidak ada keputusan penonaktifan jabatan dari pihak terkait.
Proses hukum yang lamban dengan dua kali penundaan sidang semakin memperkuat dugaan bahwa kasus ini tidak ditangani secara serius. Sidang singkat yang hanya berlangsung dua menit memperparah kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
“Ini sidang apa drama? Dua menit untuk memutuskan penundaan? Seharusnya terdakwa datang dengan persiapan matang, bukan malah bermain-main dengan proses hukum,” ujar seorang pengamat hukum lokal.
Penundaan berkali-kali mencerminkan lemahnya pengawasan serta kurangnya keseriusan dalam menyelesaikan kasus yang merugikan tatanan pemerintahan desa. Publik semakin pesimis apakah kasus ini akan mencapai putusan yang adil dan transparan.
Demokrasi yang Dihancurkan oleh Pemimpin Palsu.
Kasus ini sejatinya menjadi peringatan keras bagi semua pihak. Pemimpin yang lahir dari praktik curang, seperti pemalsuan ijazah, hanya akan membawa kerusakan dan kehilangan kepercayaan di tengah masyarakat.
Pemalsuan dokumen bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga penghinaan terhadap dunia pendidikan dan proses demokrasi. Jika sejak awal seorang calon pemimpin sudah menghalalkan segala cara, bagaimana bisa ia dipercaya untuk menjalankan amanah rakyat?
“Sri Wahyuni semestinya dinonaktifkan sementara dari jabatannya. Jangan sampai ini dianggap remeh. Ini soal kepercayaan publik dan marwah kepemimpinan,” tegas seorang aktivis antikorupsi.
Tuntutan Masyarakat: Pemerintah dan Hukum Harus Tegas!
Masyarakat kini menuntut sikap tegas dari pemerintah daerah untuk segera menonaktifkan Sri Wahyuni sebagai Kepala Desa Amin Jaya selama proses hukum berlangsung. Selain itu, aparat penegak hukum juga diminta untuk menyelesaikan kasus ini dengan cepat dan transparan.
“Kita butuh kepastian hukum, bukan sandiwara yang berlarut-larut. Pemerintah jangan diam saja, dan hakim jangan hanya menjalankan sidang seperti formalitas belaka,” ujar seorang warga dengan lantang.
Sidang lanjutan pada Senin, 23 Desember 2024 mendatang diharapkan membawa perubahan signifikan, bukan sekadar ritual penundaan tanpa substansi. Masyarakat kini semakin geram dan mendesak agar keadilan ditegakkan.
Jika kasus ini terus berlarut-larut dan terdakwa masih dibiarkan menjabat, satu hal yang pasti: kepercayaan publik terhadap hukum dan kepemimpinan akan semakin runtuh.
Apakah ini akhir dari keadilan? Ataukah hukum hanya berpihak pada yang berkuasa? Mari kita kawal bersama!
( SUBAN / IMAM )