" SKANDAL IJAZAH PALSU KADES AMIN JAYA : HUKUMAN RINGAN, RUNTUHNYA KEPERCAYAAN PUBLIK TERHADAP HUKUM !"

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Sebuah drama hukum yang mengejutkan mencuat di Pengadilan Negeri I B Pangkalan Bun dalam sidang ke-6 pada kasus pemalsuan ijazah yang melibatkan Kepala Desa Amin Jaya, Sri Wahyuni. Sidang yang berlangsung pada Selasa siang di Ruang Sidang Kartika ini mengungkap kenyataan pahit tentang lemahnya penegakan hukum di negeri ini khususnya Kobar. Sidang ini dipimpin oleh Hakim Ketua Ikha Tina, S.H., M.Hum., dengan didampingi dua Hakim Anggota, Widana Anggara Putra, S.H., M.Hum., dan Firmansyah, S.H., M.H., serta Panitera Pengganti Bayu Sistiawan, A.Md., S.H.
Sidang dimulai pukul 12.30 WIB dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang pada persidangan ini dihadiri oleh Jaksa Muhammad Iqbal Pramudani, S.H. Sri Wahyuni, terdakwa dalam kasus yang mencoreng nama baik pemerintahan desa, hadir tanpa didampingi kuasa hukumnya Supriadi,S.H meski terdakwa dihadapkan pada ancaman hukuman yang dapat mencabut haknya sebagai pemimpin.
Dalam pembacaan tuntutannya, JPU hanya menuntut hukuman 8 bulan penjara bagi Sri Wahyuni, meskipun terdakwa terbukti melanggar Pasal 266 KUHP ayat (1), yang memiliki ancaman maksimal tujuh tahun penjara. Pasal tersebut berbunyi:
"Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."
Tuntutan ini mengundang reaksi keras dari masyarakat, terutama warga Desa Amin Jaya yang selama ini merasa dikhianati oleh pemimpin mereka. “Ini sungguh mengecewakan! Kasus sebesar ini hanya di tuntut hukuman 8 bulan? Apakah hukum kita hanya berpihak pada mereka yang berkuasa?” ujar seorang warga yang tak ingin disebutkan namanya.
Pemalsuan Ijazah: Simbol Bobroknya Integritas Pemimpin.
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang menemukan kejanggalan pada ijazah Sri Wahyuni, yang digunakan untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Desa Amin Jaya pada Pilkades 2023. Dalam sidang sebelumnya, terdakwa akhirnya mengakui bahwa dokumen tersebut palsu. Barang bukti berupa ijazah palsu pun diperlihatkan dalam persidangan, yang mengukuhkan kecurigaan publik.
Namun, tuntutan ringan yang diajukan oleh JPU dinilai tidak memberikan efek jera, baik kepada terdakwa maupun calon pejabat lainnya yang mungkin mempertimbangkan tindakan serupa. “Ini bukan sekadar pemalsuan dokumen, ini adalah pengkhianatan terhadap masyarakat dan demokrasi,” tambah seorang tokoh masyarakat.
Tuntutan 8 bulan untuk kasus sebesar ini menimbulkan berbagai kritik tajam dari berbagai kalangan. Banyak yang menyebut bahwa sistem hukum Indonesia terlalu lembek terhadap pelanggaran yang melibatkan pejabat publik. Bahkan, beberapa pihak menduga bahwa hukuman ringan ini bisa menjadi preseden buruk yang merusak tatanan hukum di masa depan.
“Jika hukum hanya menjadi formalitas, maka kepercayaan publik terhadap pengadilan akan hancur. Jangan heran jika ke depan banyak pemimpin berani memalsukan dokumen, karena mereka tahu hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan,” Ungkap seorang pengamat hukum.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat untuk lebih teliti dalam memilih pemimpin. Pemalsuan dokumen adalah kejahatan serius yang merusak prinsip kejujuran dan integritas dalam demokrasi.
Apa yang harus dilakukan?
1. Reformasi Sistem Hukum: Pemerintah harus segera merevisi aturan terkait pelanggaran jabatan publik dengan hukuman yang lebih tegas dan memberikan efek jera.
2. Pengawasan Ketat: Proses verifikasi dokumen calon pejabat harus melibatkan lembaga independen untuk mencegah pemalsuan di masa depan.
3. Pendidikan Integritas: Kampanye nilai-nilai kejujuran harus digalakkan di semua lapisan masyarakat, terutama di kalangan pejabat publik.
Akankah Keadilan benar-benar di tegakkan ?
Sidang ini menjadi ujian besar bagi sistem peradilan Indonesia khususnya di Kotawaringin Barat (Kobar). Apakah keadilan akan benar-benar ditegakkan dalam sidang putusan berikutnya? Atau akankah kasus ini menjadi bukti lain bahwa hukum di negeri ini masih jauh dari kata adil?
Masyarakat Desa Amin Jaya dan seluruh Indonesia kini menunggu dengan penuh harap dan waspada. Keputusan berikutnya akan menjadi penentu, apakah hukum benar-benar menjadi penjaga keadilan atau sekadar formalitas belaka. "Kita butuh pemimpin yang jujur, bukan pemimpin yang lahir dari kebohongan!" tegas seorang warga.
( SUBAN / IMAM )