" KASUS PEMALSUAN IJAZAH KADES SRI WAHYUNI : PENUNDAAN SIDANG JADI BUKTI KETIDAKADILAN HUKUM DI KOBAR, SRI WAHYUNI TERUS BEBAS MESKI SUDAH MENGAKU !"

" KASUS PEMALSUAN IJAZAH KADES SRI WAHYUNI : PENUNDAAN SIDANG JADI BUKTI KETIDAKADILAN HUKUM DI KOBAR, SRI WAHYUNI TERUS BEBAS MESKI SUDAH MENGAKU !"

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :

    Penundaan sidang yang tak berkesudahan dalam kasus pemalsuan ijazah yang melibatkan Kepala Desa Amin Jaya, Kecamatan Pangkalan Banteng Sri Wahyuni, semakin memperburuk citra sistem peradilan di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar). Sidang ke Enam yang sempat dijadwalkan pada Selasa (03/12/2024) harus kembali ditunda, kali ini dengan alasan yang semakin tidak jelas. Sejak sidang pertama hingga sekarang, tidak ada kemajuan berarti dalam penuntasan kasus ini. Bahkan, meskipun Sri Wahyuni sudah mengakui perbuatannya dalam sidang sebelumnya, statusnya sebagai tahanan kota masih dipertahankan, membuat publik semakin skeptis terhadap kualitas penegakan hukum di daerah ini.

    Sidang yang diharapkan dapat membawa kejelasan dalam kasus ini terpaksa ditunda lagi hingga Selasa, 10 Desember 2024. Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak siap untuk mengajukan tuntutan, meskipun seluruh bukti sudah sangat jelas dan Sri Wahyuni sendiri telah mengakui pemalsuan ijazah yang digunakannya untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Sidang yang seharusnya berjalan lancar malah terhenti, membuat masyarakat merasa semakin kehilangan kepercayaan terhadap aparat hukum. Penundaan ini seperti menggambarkan ketidakmampuan sistem peradilan untuk menangani kasus yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat dan tegas.

    Yang lebih mengejutkan adalah kenyataan bahwa meskipun sudah mengakui perbuatannya, Sri Wahyuni masih bebas berkeliaran dengan status tahanan kota. Dalam kasus seperti ini, di mana seorang pejabat publik dengan sengaja melakukan pemalsuan dokumen untuk meraih jabatan, tidak ada alasan bagi aparat hukum untuk memberikan kelonggaran seperti itu. Pemalsuan ijazah bukan hanya pelanggaran hukum biasa, tetapi juga pelanggaran yang merusak integritas institusi pemerintahan dan demokrasi di tingkat desa. Sri Wahyuni, yang semestinya dihukum berat, malah diperlakukan seperti orang biasa, yang bebas menikmati hak-haknya meskipun tindakannya jelas merugikan masyarakat.

     Tindakannya merusak kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi, terlebih lagi karena ia memalsukan ijazah untuk memimpin sebuah desa. Harusnya, seseorang yang terbukti melakukan pemalsuan semacam ini, terlebih seorang pejabat publik, langsung dijerat dengan hukuman yang setimpal. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat Kobar pun bertanya-tanya, apakah hukum di daerah ini bisa diandalkan, ataukah ada kekuatan yang melindungi Sri Wahyuni hanya karena statusnya sebagai Kepala Desa?

     Penundaan sidang ini semakin memperjelas sebuah kenyataan pahit: sistem peradilan di Kobar semakin terancam mengalami krisis kepercayaan. Ketidakmampuan aparat hukum untuk memproses kasus ini secara cepat dan transparan menunjukkan betapa lemah dan tidak tegasnya hukum di daerah ini. Publik sudah menunggu berlarut-larut, berharap agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Namun, yang terjadi justru penundaan demi penundaan yang semakin memperburuk citra penegakan hukum di Kobar.

     Sri Wahyuni adalah seorang pejabat publik yang sudah mengakui perbuatannya, namun justru menikmati perlakuan yang jauh lebih ringan dibandingkan dengan warga biasa yang terjerat dalam kasus serupa. Apakah ada faktor lain yang melindunginya? Apakah ada ketidakberanian aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap seorang kepala desa, hanya karena posisi dan pengaruh yang dimilikinya?

     Kasus ini adalah ujian besar bagi aparat penegak hukum di Kobar. Jika mereka gagal menuntaskan perkara ini dengan adil, maka seluruh sistem hukum di Kobar akan tercemar dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan akan semakin menipis. Hukum seharusnya tidak pandang bulu, apalagi jika melibatkan pejabat publik yang dengan jelas melakukan pelanggaran. Apakah hukum di Kobar benar-benar berlaku untuk semua, atau hanya untuk kalangan tertentu yang memiliki kekuasaan?

     Publik terus menerus mengamati dengan seksama jalannya persidangan ini dan semakin kecewa setiap kali sidang ditunda tanpa alasan yang jelas. Ketika seorang pejabat publik terbukti melakukan pelanggaran, terutama yang mengancam kredibilitas demokrasi, maka proses hukum seharusnya menjadi contoh yang tegas bagi masyarakat bahwa tidak ada tempat bagi pelanggaran hukum di tanah air. Namun kenyataannya, proses hukum ini justru semakin menunjukkan ketidakadilan yang semakin memprihatinkan.

     Publik Kobar khususnya, semakin jenuh dengan penundaan sidang yang tidak berkesudahan ini. Mereka ingin melihat apakah hukum benar-benar bisa ditegakkan tanpa pandang bulu. Mereka ingin memastikan bahwa pejabat publik yang jelas melanggar hukum akan menerima sanksi yang setimpal. Penundaan sidang ini tidak hanya mengecewakan, tetapi juga memperburuk citra Kobar sebagai daerah yang tidak serius dalam menegakkan keadilan.

     Sudah saatnya agar kasus ini dituntaskan dengan tegas dan transparan. Tidak ada alasan lagi untuk memberikan kelonggaran terhadap seorang pejabat yang terbukti memalsukan dokumen demi meraih jabatan. Kasus pemalsuan ijazah ini seharusnya menjadi contoh bagi seluruh pejabat publik bahwa hukum akan tetap berlaku adil, tanpa ada kekuatan apapun yang dapat melindungi mereka dari sanksi yang layak.

     Jika aparat penegak hukum di Kobar tidak segera mengambil tindakan yang tegas, maka mereka akan semakin terperosok dalam ketidakpercayaan publik yang semakin mendalam. Kita semua harus menuntut proses hukum yang lebih cepat, lebih adil, dan lebih transparan. Hukum adalah pilar utama yang menjaga keadilan dan integritas masyarakat, dan tidak ada kompromi dalam hal ini. Sebagai masyarakat, kita harus menuntut agar keadilan ditegakkan tanpa kecuali, terutama ketika menyangkut pejabat publik yang jelas melanggar hukum.

( SUBAN / IMAM )