" SIDANG KE-6 KASUS PEMALSUAN IJAZAH : KADES AMIN JAYA DITUNTUT HUKUMAN RINGAN 8 BULAN,EFEK JERA ATAU SANDIWARA HUKUM? "

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Sidang ke-6 kasus pemalsuan ijazah yang melibatkan Kepala Desa Amin Jaya,Kecamatan Pangkalan Banteng Sri Wahyuni berlangsung singkat pada Selasa siang (10/12/2024) di Ruang Sidang Kartika, Pengadilan Negeri I B Pangkalan Bun. Sidang ini dipimpin oleh Hakim Ketua Ikha Tina, S.H., M.Hum, dengan didampingi Hakim Anggota Widana Anggara Putra, S.H., M.Hum, dan Firmansyah, S.H., M.H., serta Panitera Pengganti Bayu Sistiawan, A.Md., S.H. Agenda sidang kali ini adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ari Andhika Thomas,S.H, Maudyna Setyo Wardhani,S.H., dan Budi Murwanto,S.H, dan pada persidangan ini Jaksa Muhammad Iqbal Pramudani, S.H yang hadir dan membacakan tuntutan terhadap terdakwa Sri Wahyuni.
Sidang dimulai pukul 12.30-12.45 WIB dan hanya berlangsung selama 15 menit. Dalam sidang tersebut, terdakwa Sri Wahyuni hadir tanpa didampingi kuasa hukumnya, Supriadi, S.H., meskipun kasus yang dihadapinya termasuk kasus yang serius karena menyangkut integritas Jabatan publik.
Tuntutan yang Dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Dalam pembacaan tuntutan, Jaksa Penuntut Umum yang pada persidangan ini dihadiri oleh Jaksa Muhammad Iqbal Pramudani,S.H menyatakan bahwa terdakwa Sri Wahyuni terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 266 KUHP ayat (1). Bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
"Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."
Namun, JPU hanya menuntut hukuman 8 bulan penjara dengan pertimbangan:
1. Terdakwa mengakui perbuatannya dalam sidang sebelumnya.
2. Terdakwa telah menunjukkan penyesalan atas perbuatannya.
3. Terdakwa belum pernah memiliki catatan kriminal sebelumnya.
Publik sontak tercengang, pembacaan tuntutan oleh Jaksa sangat mengejutkan. Ada apa dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU)? Persidangan itu melahirkan tanda tanya besar di benak warga Desa Amin Jaya dan masyarakat Kobar.
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang mencurigai keabsahan ijazah yang digunakan terdakwa Sri Wahyuni saat mencalonkan diri sebagai Kepala Desa Amin Jaya dalam Pilkades Tahun 2023. Dalam sidang sebelumnya yaitu Sidang Kelima pada Selasa (26/11/2024) dengan agenda sidang pemeriksaan terdakwa dan barang bukti, terdakwa Sri Wahyuni mengakui dengan jelas bahwa ijazah yang digunakan untuk syarat pencalonan diri sebagai Kepala Desa Amin Jaya pada Pilkades 2023 adalah palsu. Terdakwa pun dengan jelas dan terang-terangan merincikan caranya melakukan pemalsuan ijazah tersebut di depan Jaksa dan Hakim, serta barang bukti berupa dokumen ijazah palsu telah diajukan ke persidangan.
Namun, masyarakat Amin Jaya merasa kecewa dengan pengajuan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dianggap terlalu ringan. Mereka menilai bahwa pemalsuan ijazah adalah pelanggaran serius yang merusak kepercayaan publik terhadap Pejabat dan institusi pemerintahan Desa.
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya menyatakan, "Bagaimana mungkin hanya dituntut 8 bulan penjara untuk kasus sebesar ini? Ini tidak hanya tentang pemalsuan, tetapi juga penyalahgunaan kepercayaan masyarakat."
Kasus ini membuka diskusi publik mengenai lemahnya ancaman hukum terhadap pemalsuan dokumen, terutama yang berkaitan dengan jabatan publik. Meski Pasal 266 KUHP mengancam hukuman maksimal tujuh tahun penjara, penerapan hukuman yang jauh lebih rendah sering kali menjadi sorotan.
Mengapa hukuman begitu ringan?
1. Sistem hukum Indonesia sering kali mempertimbangkan hal-hal yang bersifat subjektif, seperti pengakuan terdakwa dan penyesalan.
2. Tidak adanya undang-undang khusus yang mengatur sanksi berat bagi pejabat publik yang memalsukan dokumen.
Apa dampaknya?
1. Meningkatkan potensi kasus serupa di masa depan karena hukuman yang ringan tidak memberi efek jera kepada pelaku kejahatan.
2. Merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum dan integritas pemimpin publik.
Pemalsuan ijazah bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga penghianatan terhadap nilai-nilai kejujuran dan transparansi.
Masyarakat harus lebih kritis dan terlibat aktif dalam memverifikasi kelayakan kandidat pemimpin
Kasus ini menjadi cermin bagi pemerintah dan aparat penegak hukum di Kobar untuk memperbaiki regulasi yang mengatur pelanggaran terkait jabatan publik. Masyarakat mendesak adanya langkah-langkah berikut:
1. Hukuman yang Lebih Tegas: Revisi ancaman hukuman untuk pelanggaran yang menyangkut kepercayaan publik, seperti pemalsuan ijazah pejabat.
2. Pengawasan yang Ketat: Proses verifikasi dokumen calon pejabat harus diperketat, melibatkan lembaga independen jika diperlukan.
3. Pendidikan Integritas: Pemerintah perlu menggalakkan kampanye nilai-nilai kejujuran dan transparansi di semua lapisan masyarakat.
Sidang kasus pemalsuan ijazah untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa dengan terdakwa Sri Wahyuni akan menjadi tolak ukur hukum di Kotawaringin Barat. Apapun hasilnya, kasus ini telah meninggalkan pelajaran penting bagi masyarakat dan pemerintah. Pemimpin yang jujur adalah fondasi demokrasi yang sehat, dan kepercayaan publik harus dijaga dengan ketegasan hukum serta integritas moral.
Apakah keadilan benar-benar akan ditegakkan, atau kasus ini hanya menjadi preseden buruk bagi sistem hukum di Kobar? Masyarakat menunggu dengan penuh harap.
( SUBAN )