" FEMISIDA, KRISIS YANG TAK TERSELESAIKAN : KEJAHATAN TERSEMBUNYI DALAM WAJAH GELAP KETIDAKADILAN GENDER DI INDONESIA " 

" FEMISIDA, KRISIS YANG TAK TERSELESAIKAN : KEJAHATAN TERSEMBUNYI DALAM WAJAH GELAP KETIDAKADILAN GENDER DI INDONESIA " 

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :

    Femisida, istilah yang mengacu pada pembunuhan perempuan karena jenis kelaminnya, kini kembali menjadi sorotan dunia. Di Indonesia, kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan terus meningkat, menciptakan krisis kemanusiaan yang harus segera ditangani. Data mengerikan ini mencerminkan lemahnya perlindungan hukum dan budaya yang masih meminggirkan perempuan.

    Sejak istilah Femisida diperkenalkan pertama kali oleh John Corry pada 1801 dan dikembangkan lebih lanjut oleh Profesor Diana EH Russell, konsep ini mengungkapkan sisi paling kelam dari ketidaksetaraan gender. Femisida bukan sekadar pembunuhan biasa; ini adalah wujud ekstrem kebencian terhadap perempuan yang didasarkan pada dominasi, dendam, atau bahkan rasa kepemilikan.

    Data global dari UN Women mencatat bahwa pada tahun 2023, sekitar 85.000 perempuan dan anak perempuan dibunuh, dengan 60% pelaku berasal dari lingkungan terdekat korban. Rumah, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, justru menjadi medan pembantaian. Setiap hari, 140 perempuan di seluruh dunia kehilangan nyawa mereka di tangan pasangan atau anggota keluarganya.

    Di Indonesia, jejak digital dan laporan Komnas Perempuan menunjukkan pola serupa: korban kerap dibunuh oleh pasangan, pacar, atau anggota keluarga dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal seperti kecemburuan, masalah ekonomi, atau kehormatan keluarga. Ironisnya, banyak kasus ini ditangani sebagai pembunuhan biasa tanpa memperhatikan dimensi gender yang melekat pada kejahatan tersebut.

    Hingga saat ini, hukum di Indonesia belum memberikan pengakuan spesifik terhadap femisida. Meski sudah ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), keduanya sering tidak digunakan secara maksimal. Aparat penegak hukum kerap memandang kasus femisida sebagai "kriminal umum," mengabaikan fakta bahwa kejahatan ini memiliki akar diskriminasi gender yang mendalam.

    Budaya patriarki di Indonesia juga turut memperparah situasi ini. Perempuan sering dipandang sebagai objek, properti, atau pihak yang harus tunduk pada laki-laki. Dalam beberapa kasus, pembunuhan bahkan dianggap sebagai pembalasan atas "kehormatan keluarga," menutupi kenyataan bahwa ini adalah kejahatan kebencian.

     “Kami butuh perubahan paradigma hukum. Femisida bukan sekadar pembunuhan, tetapi serangan terhadap hak dasar perempuan untuk hidup, aman, dan setara,” ujar seorang aktivis perempuan dalam diskusi Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Jakarta. 

    Untuk mengatasi darurat femisida, Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah tegas antara lain :

1. Peningkatan Kesadaran Publik: Kampanye masif untuk mengedukasi masyarakat tentang femisida dan kekerasan berbasis gender.

2. Perbaikan Penegakan Hukum: Aparat hukum harus memahami dimensi gender dalam kasus-kasus ini dan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku.

3. Peningkatan Layanan Perlindungan: Korban kekerasan harus mendapatkan akses mudah ke layanan perlindungan dan rehabilitasi.

4. Perubahan Budaya: Edukasi di sekolah dan komunitas untuk mendorong penghargaan terhadap perempuan sebagai manusia yang setara.

    “Setiap kali pelaku kekerasan berbasis gender dibiarkan bebas tanpa hukuman yang pantas, kita memberi pesan kepada masyarakat bahwa nyawa perempuan tidak berharga. Ini harus dihentikan,” kata seorang akademisi hukum gender di Universitas Indonesia.

    Di tengah darurat ini, pemerintah dan aparat hukum Indonesia perlu bercermin. Mengapa regulasi yang sudah ada tidak digunakan secara efektif? Mengapa budaya hukum kita masih enggan mengakui dimensi gender dalam kejahatan-kejahatan ini?

    Jika negara tidak segera bertindak, maka femisida akan terus menjadi luka mendalam yang mengoyak nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan di negeri ini.

    Femisida bukan hanya persoalan perempuan; ini adalah persoalan kemanusiaan. Jika Anda menyaksikan atau mengetahui kekerasan berbasis gender, bertindaklah. Hubungi lembaga yang dapat membantu, karena diam berarti mendukung kekerasan.

    Perjuangan melawan femisida adalah perjuangan kita semua, untuk memastikan bahwa perempuan di Indonesia dan dunia dapat hidup dengan aman, bermartabat, dan setara.

( SUBAN / IMAM )