" KOLONIALISME GAYA BARU : INVESTASI JADI ALAT PENJAJAHAN DAN PENJARA BAGI RAKYAT "

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Kata investasi yang sejatinya diharapkan menjadi pintu menuju kesejahteraan, kini di banyak daerah berubah menjadi kata yang menakutkan. Di balik dalih pembangunan dan peningkatan ekonomi, tanah rakyat dijarah terang-terangan, hak ulayat dicabik, dan kehidupan masyarakat adat serta petani kecil dipinggirkan.
Dalam praktiknya, negara seolah memilih menjadi penonton sementara pemerintah daerah lebih sibuk merawat kepentingan segelintir korporasi. Tanah adat dan lahan petani diubah menjadi kebun industri raksasa, sementara Janji-janji plasma 20 persen yang seharusnya menjadi kewajiban perusahaan perkebunan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 26 Tahun 2007 dan dipertegas kembali melalui regulasi terbaru, nyatanya hanya menjadi mitos. Banyak perusahaan menunda bahkan mengabaikan kewajiban ini, sementara pemerintah daerah sering kali bungkam atau bahkan ikut melindungi.
Ketika masyarakat menuntut haknya, mereka justru disuguhi kalimat normatif: "Sedang diproses, akan diselesaikan." Namun, tahun berganti, generasi berubah, hak itu tak kunjung tiba.
Yang lebih ironis, rakyat yang mencoba mempertahankan tanah warisan atau sekadar memanen sawit di lahan mereka sendiri kerap dikriminalisasikan. Mereka dituduh mencuri, merusak, bahkan melawan hukum serta dijadikan pesakitan di pengadilan. Padahal, pada saat yang sama, perusahaan dibiarkan bebas menggarap lahan di luar HGU (Hak Guna Usaha) atau IUP (Izin Usaha Perkebunan), meski itu jelas melanggar aturan bahkan hukum yang selalu disuarakan kepada rakyat kecil untuk ditaati.
Regulasi sudah sangat jelas :
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) menegaskan bahwa tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun kini, tanah justru menjadi komoditas untuk segelintir pemodal.
- Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan melarang keras perusahaan beroperasi di luar izin dan mewajibkan pemberian plasma minimal 20 persen kepada masyarakat. Faktanya, banyak perusahaan menggarap kawasan tanpa HGU/IUP, dan tetap di biarkan.
- Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebut bahwa kegiatan tanpa izin adalah pelanggaran serius yang bisa dijerat pidana. Tetapi di lapangan, yang ditindak justru petani kecil bukan korporasi raksasa.
"Negara ada untuk rakyat, bukan untuk pemodal. Kalau aturan hanya berlaku bagi petani kecil sementara perusahaan bebas melanggar, itu bukan hukum tetapi penjajahan model baru," Ungkap seorang tokoh masyarakat dengan nada getir.
Sorotan Kritis Fakta di Lapangan yang mengiris Nurani:
1. Janji Plasma hanya slogan – Banyak perusahaan tidak menunaikan kewajiban 20 persen, padahal regulasi sudah jelas. Masyarakat menunggu, Perusahaan berkelit, dan Pemerintah diam.
2. Kriminalisasi Rakyat – Petani yang membela haknya dituduh mencuri dan diadili, sementara perusahaan bebas menguasai ribuan hektar di luar izin yang melanggar hukum dibiarkan.
3. Izin yang Mandul di lapangan – UU Agraria, UU Perkebunan, dan Lingkungan Hidup serta peraturan turunan seolah hanya berlaku untuk rakyat kecil, bukan untuk korporasi yang hanya jadi pajangan di atas kertas.
4. Pemerintah Daerah Bungkam – Alih-alih melindungi warganya, segelintir pejabat justru ikut menikmati rente dari hasil rampasan tanah rakyat, dengan dalih Inkam Daerah atau PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Tuntutan tegaknya hukum :
1. Cabut izin perusahaan yang tidak menunaikan kewajiban plasma dan terbukti menggarap di luar konsesi.
2. Bebaskan petani dari kriminalisasi dan hentikan praktik hukum yang tajam ke bawah serta tumpul ke atas.
3. Pemerintah pusat wajib turun tangan jika pemerintah daerah terbukti melindungi perusahaan nakal.
4. Wujudkan roh UUPA 1960 : tanah bukan hanya sumber profit, melainkan sumber hidup bagi rakyat.
Suara rakyat menembus jeruji ketidakadilan, Masyarakat adat dan petani menegaskan bahwa mereka bukan anti-investasi. Yang ditolak adalah bentuk penjajahan berkedok investasi yang merampas tanah tanpa kompensasi, mengabaikan hukum, dan memenjarakan rakyat yang menuntut haknya.
Sorotan akhirnya jelas: Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru abai, pemerintah daerah yang seharusnya menjadi pengayom malah bungkam. Hukum bukan milik segelintir pemodal, hukum adalah pelindung rakyat. Investasi yang sehat harus transparan, adil, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat, bukan alat untuk melanggengkan kolonialisme gaya baru. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka investasi bukan lagi pembangunan melainkan penjajahan berkedok legalitas.
( TIM TO )