" KEJAHATAN KERAH PUTIH DI TINGKAT DESA : PEMALSUAN IJAZAH DEMI JABATAN KADES, CERMIN BURUK DEMOKRASI LOKAL "

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Dunia pemerintahan desa kembali tercoreng oleh tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh pejabat publik. Sri Wahyuni binti Muksin, Kepala Desa Amin Jaya, Kecamatan Pangkalan Banteng menjadi sorotan setelah terbukti melakukan pemalsuan ijazah untuk syarat mencalonkan diri sebagai kepala desa. Kasus ini bukan hanya mencederai demokrasi lokal, tetapi juga menjadi simbol kejahatan kerah putih yang menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik.
Dengan nomor perkara 352/Pid.B/2024/PN.P.Bun, kasus ini disidangkan di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun dan dipimpin oleh Hakim Ketua Ikha Tina, S.H., M.Hum., yang didampingi Hakim Anggota Widana Anggara Putra, S.H., M.Hum., dan Firmansyah, S.H., M.H serta Panitera Pengganti Hariyanto. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ari Andhika Thomas, S.H., bersama timnya Maudyna Setyo Wardhani, S.H., dan Budi Murwanto, S.H., menghadirkan bukti-bukti kuat bahwa terdakwa telah memalsukan dokumen resmi.
Pemalsuan Ijazah: Upaya Meraih Jabatan dengan Cara Curang.
Sri Wahyuni menggunakan ijazah palsu untuk memenuhi persyaratan administrasi pada pencalonan kepala desa pada saat Pilkades serentak di Kabupaten Kotawaringin Barat (26/10/2023). Tindakan ini oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinyatakan melanggar Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang berbunyi:
"Barang siapa yang menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."
Meski ancaman hukuman maksimum mencapai tujuh tahun, Terdakwa Sri Wahyuni hanya dijatuhi vonis lima bulan penjara. Putusan ini menimbulkan kritik tajam dari berbagai pihak, yang menilai hukuman tersebut tidak mencerminkan beratnya kejahatan dan dampaknya terhadap integritas demokrasi lokal.
Vonis yang Mengundang Pertanyaan.
Sidang pengucapan putusan pada Selasa (07/01/2025) di Ruang Sidang Kartika, Pengadilan Negeri Pangkalan Bun merupakan sidang ke-9 dari total 11 minggu persidangan yang sempat mengalami tiga kali pembatalan. Majelis Hakim mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan terdakwa, seperti:
1. Sikap Kooperatif: Terdakwa bersikap sopan selama persidangan dan memberikan keterangan yang tidak berbelit-belit.
2. Penyesalan dan Itikad Baik: Sri Wahyuni menyesali perbuatannya dan menyerahkan salinan ijazah asli kepada panitia Pilkades.
3. Kondisi Keluarga: Sebagai ibu dua anak di bawah umur, terdakwa dinilai perlu diberikan kesempatan untuk mengasuh anak-anaknya.
Namun, sejumlah pihak memandang bahwa pertimbangan ini terlalu longgar. Pemalsuan dokumen oleh pejabat publik merupakan kejahatan serius yang tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merusak tatanan demokrasi terlebih sampai Sidang Pengucapan Putusan ini digelar Terdakwa Sri Wahyuni masih bebas berlenggang dan menjabat sebagai Kepala Desa Amin Jaya dengan status tahanan kota.
Kritik terhadap Penegakan Hukum dan Sistem Demokrasi.
Kasus ini menjadi potret nyata lemahnya pengawasan dalam proses pemilihan kepala desa (pilkades). Fakta bahwa seorang calon dapat lolos meskipun menggunakan dokumen palsu menunjukkan adanya celah besar dalam sistem seleksi administratif.
Pengamat hukum dan pemerintahan menyoroti vonis ringan yang diberikan kepada Sri Wahyuni. Mereka berpendapat bahwa hukuman ini tidak memberikan efek jera yang memadai bagi pelaku kejahatan kerah putih, terutama di kalangan pejabat publik.
“Ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga soal moralitas dan kepercayaan publik. Jika kejahatan seperti ini diberi hukuman ringan, apa pesan yang kita sampaikan kepada masyarakat? Bahwa meraih jabatan dengan cara curang adalah hal yang bisa ditoleransi?” Ungkap seorang aktivis anti-korupsi lokal.
Pelajaran bagi Masyarakat: Waspadai Integritas Pemimpin.
Kasus Sri Wahyuni seharusnya menjadi pengingat bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam menilai calon pemimpin. Jabatan kepala desa bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga tanggung jawab besar dalam mengelola desa dan melayani masyarakat.
Pemalsuan ijazah bukan sekadar tindakan administratif, melainkan cermin dari kurangnya integritas seseorang. Jika cara yang digunakan untuk meraih jabatan sudah salah sejak awal, bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa pemimpin seperti itu akan memimpin dengan jujur dan adil?
Refleksi dan Rekomendasi untuk Masa Depan.
Untuk mencegah kasus serupa, perlu dilakukan langkah-langkah konkret:
1. Peningkatan Pengawasan: Pemerintah daerah harus memastikan dokumen yang diajukan calon kepala desa diverifikasi secara ketat.
2. Edukasi Pemilih: Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang pentingnya memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak bersih dan integritas tinggi.
3. Reformasi Sistem Pilkades: Proses seleksi administrasi dan uji publik terhadap calon pemimpin harus diperbaiki untuk menutup celah bagi tindakan curang.
Akhir Perjalanan Hukum.
Hakim Ketua Ikha Tina, S.H., M.Hum., memberikan waktu satu minggu kepada terdakwa untuk mempertimbangkan apakah akan menerima vonis atau mengajukan banding. Hal ini sebagai pertimbangan karena pada saat sidang di gelar, Terdakwa Sri Wahyuni tidak didampingi oleh kuasa hukumnya, Supriadi, S.H
Kejahatan kerah putih seperti pemalsuan ijazah menunjukkan betapa rapuhnya sistem yang seharusnya menjadi benteng keadilan dan demokrasi. Masyarakat harus terus mengawal proses hukum dan memastikan bahwa kasus ini menjadi pelajaran, bukan hanya bagi pelaku, tetapi juga bagi semua pejabat publik yang berusaha meraih jabatan dengan cara yang tidak sah. Jangan biarkan demokrasi tercoreng oleh tindakan-tindakan curang yang mencederai kepercayaan rakyat, karena sebuah jabatan adalah amanah bukan alat untuk memuaskan ambisi pribadi.
( SUBAN )