" DARI KANTOR DESA KE RUANG SIDANG : HUKUM DIUJI, SRI WAHYUNI MASIH BERKUASA MESKI STATUS TERDAKWA "
TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Sidang kelima kasus pemalsuan ijazah oleh Kepala Desa Amin Jaya, Kecamatan Pangkalan Banteng, Sri Wahyuni kembali digelar di ruang sidang Chandra, Pengadilan Negeri Pangkalan Bun. Sidang ini kembali menjadi sorotan publik karena fakta-fakta mencengangkan yang terungkap, sekaligus kritik pedas atas status terdakwa yang masih menjabat tanpa pemberhentian sementara.
Sidang kali ini dipimpin oleh Hakim Ketua Ikha Tina, S.H.,M.Hum., dengan Hakim anggota Widana Anggara Putra, S.H.,M.Hum., dan Firmansyah, S.H.,M.H., serta panitera pengganti Hariyanto. Kuasa hukum terdakwa, Supriadi, S.H., hadir secara daring, sementara Jaksa Penuntut Umum (JPU) Reskiah Dwi Wiraningtyas Pasandaran, S.H., memimpin pemeriksaan barang bukti yang menguatkan tuduhan terhadap terdakwa Sri Wahyuni.

Dalam sidang ini, Sri Wahyuni mengakui secara terbuka bahwa ia memalsukan ijazah menggunakan teknologi sederhana. Ijazah asli milik temannya, Sri Mulyati, dipinjam dan dimodifikasi. Perubahan signifikan meliputi :
1.Program Keahlian atau Jurusan diubah dari Akuntansi menjadi Sekretaris.
2.Nama pemilik Ijazah diubah dari Sri Mulyati menjadi Sri Wahyuni.
3.Tempat dan tanggal lahir diubah dari Purwodadi, 7 Februari 1986 menjadi Bojonegoro, 12 Juli 1986.
4.Nama Orang tua diubah dari Sarju menjadi Muksin.
5.Nomor Induk diubah dari 5314 menjadi 5273.
6.Foto dan Tanda tangan diganti untuk disesuaikan.
7.Bentuk tulisan yang jelas berbeda dengan aslinya.
Namun, nomor ijazah tetap dibiarkan sama sehingga mudah dilacak keasliannya.
Sri Wahyuni juga mengungkapkan bahwa dokumen palsu atau Ijazah yang sudah dipalsukan tersebut digunakan saat mendaftar pada Pilkades tahun 2023 dan dilegalisir di SMKN 1 Pangkalan Bun. Namun, Sri Wahyuni berdalih bahwa tindakan tersebut dilakukan karena terdesak waktu dan tidak menemukan ijazah aslinya yang pada waktu itu masih terselip di rumah orang tuanya karena beberapa kali pindah rumah.
Kasus ini memunculkan sorotan tajam terhadap kinerja panitia Pilkades yang dianggap lalai memverifikasi keaslian dokumen milik bakal calon kepala desa hingga tahapan menjadi calon kepala desa pada Pilkades Amin Jaya tahun 2023. Mengapa panitia hanya menerima fotokopi ijazah yang dilegalisir saja tanpa meminta dokumen asli? Bukankah tugas panitia memastikan bahwa setiap calon memenuhi syarat administratif secara sah dan transparan?
Kelemahan pengawasan seperti ini tidak hanya mencoreng kredibilitas proses demokrasi, tetapi juga membuka celah bagi tindakan curang yang merugikan masyarakat. Ironisnya, meski kasus ini telah memasuki sidang kelima dengan bukti yang memberatkan, status terdakwa Sri Wahyuni sebagai kepala desa tetap tidak terganggu.
Meski menghadapi ancaman hukuman penjara hingga enam tahun berdasarkan Pasal 263 KUHP, terdakwa Sri Wahyuni masih menjalankan tugas sebagai kepala desa tanpa hambatan. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar: Apakah hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas? Mengapa belum ada keputusan pemberhentian sementara yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai aturan? Apakah ini sebuah keberanian ataukah memang kebal hukum?
Banyak warga yang geram melihat kelanjutan jabatan Sri Wahyuni, yang dianggap menodai integritas pemerintahan desa. "Bagaimana bisa seorang terdakwa kasus kriminal masih diberikan wewenang memimpin? Ini seperti memberi pelajaran buruk pada masyarakat bahwa hukum dapat dikesampingkan demi jabatan," Ungkap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Kasus ini harus menjadi momentum bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih pemimpin. Jabatan publik adalah amanah, bukan ladang kecurangan. Masyarakat perlu lebih aktif mengawasi proses pemilihan, memverifikasi latar belakang calon, dan menuntut transparansi dari aparat penegak hukum.
Di sisi lain, pemerintah harus memperkuat pengawasan terhadap pelaksanaan pemilihan di tingkat desa. Penerapan teknologi blockchain atau sistem verifikasi digital dapat menjadi solusi untuk meminimalkan manipulasi dokumen.
Hukum adalah pilar utama demokrasi. Jika hukum hanya tajam untuk rakyat kecil tetapi tumpul bagi pejabat, maka keadilan telah mati. Aparat hukum dan pemerintah harus bertindak tegas terhadap pelanggaran seperti ini, termasuk mencopot sementara jabatan Sri Wahyuni agar proses hukum berjalan transparan tanpa konflik kepentingan.
“Integritas tidak dapat ditawar. Jika hukum dibiarkan lemah, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada pemerintahan,” Ungkap seorang akademisi hukum lokal. Kasus ini adalah cerminan buruk tata kelola pemerintahan yang harus segera diperbaiki.
Hukum bukan sekadar teks dalam undang-undang, tetapi pedoman moral yang menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Jika Sri Wahyuni terbukti bersalah, maka hukum harus memberikan sanksi yang sesuai, tidak hanya demi keadilan, tetapi juga demi tegaknya kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan demokrasi.
Akankah hukum akan benar-benar ditegakkan pada kasus pemalsuan Ijazah yang dilakukan oleh Sri Wahyuni yang saat ini menjabat sebagai Kepala Desa? Jawabannya akan kita kembalikan pada keputusan akhir persidangan kasus ini.
( SUBAN / IMAM )