" PEMALSUAN IJAZAH KEPALA DESA AMIN JAYA : KETIKA JABATAN DIRAIH DENGAN KEBOHONGAN, HUKUM JADI PERTARUHAN " 

" PEMALSUAN IJAZAH KEPALA DESA AMIN JAYA : KETIKA JABATAN DIRAIH DENGAN KEBOHONGAN, HUKUM JADI PERTARUHAN " 

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :

    Kasus pemalsuan ijazah yang menyeret nama Kepala Desa Amin Jaya, Kecamatan Pangkalan Banteng Sri Wahyuni, telah memasuki babak ke-8 pada Senin (23/12/2024). Sidang yang digelar diruang Kartika, Pengadilan Negeri I B Pangkalan Bun ini menjadi sorotan publik karena tidak hanya menyangkut pelanggaran hukum saja, tetapi juga moralitas seorang pemimpin publik.

    Sidang yang dipimpin langsung oleh Hakim Ketua Ikha Tina, S.H., M.Hum., bersama Hakim Anggota Widana Anggara Putra, S.H., M.Hum., dan Firmansyah, S.H., M.H., serta Panitera Pengganti Hariyanto mengagendakan pembacaan dan pengajuan pleidoi dari terdakwa. Dalam suasana haru, Sri Wahyuni dengan didampingi oleh Plh kuasa hukumnya Marden. A. Nyaring, S.H memohon keringanan hukuman dengan alasan masih memiliki anak-anak yang membutuhkan perhatian. Selain itu terdakwa juga memohon maaf dengan adanya kasus hukum yang menimpa dirinya, mengganggu pelayanan publik yang menjadi tugasnya sebagai seorang Kepala Desa. Sri Wahyuni pun menyampaikan bahwa dirinya tidak berniat menipu siapapun karena memang benar bahwa dirinya bersekolah dan lulusan dari SMKN-1 Pangkalan Bun,selain itu dalam kesempatan ini terdakwa memohon maaf atas kesalahannya. Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tetap tegas pada tuntutan delapan bulan penjara, dengan menilai bahwa pemalsuan dokumen adalah pelanggaran serius yang tidak dapat ditoleransi.

Ketika Ambisi Melampaui Integritas. 

    Sri Wahyuni terungkap menggunakan ijazah palsu sebagai syarat pencalonan Kepala Desa pada Pilkades Tahun 2023. Fakta ini mencerminkan bagaimana ambisi kekuasaan sering kali mengalahkan kejujuran dan integritas. Seorang pejabat publik, yang seharusnya menjadi teladan justru terlibat dalam praktik yang mencoreng citra kepemimpinan.

    “Kasus ini adalah potret suram dari politik lokal kita. Ketika seorang pemimpin berani memanipulasi data demi jabatan, apa yang bisa diharapkan dari kebijakannya? Integritas tidak bisa dibeli, dan tindakan seperti ini hanya merusak kepercayaan masyarakat,” Ungkap seorang dosen hukum dari Universitas Pangkalan Bun.

Tuntutan Publik: Hukum Tanpa Pandang Bulu. 

    Masyarakat menilai, hukuman delapan bulan yang diajukan JPU seharusnya menjadi awal dari efek jera bagi pelanggar hukum, terutama pejabat publik. Sayangnya, tindakan terdakwa yang mengajukan pembelaan emosional dianggap sebagai upaya menghindari tanggung jawab atas perbuatannya.

    “Ada anak yang harus dijaga adalah alasan manusiawi, tapi ini tidak bisa digunakan untuk membenarkan pelanggaran hukum. Bagaimana dengan dampak moral terhadap masyarakat yang dipimpin oleh seseorang yang menggunakan ijazah palsu?” kata seorang warga Desa Amin Jaya. 

    Kasus ini memberikan pelajaran besar, tidak hanya bagi pejabat, tetapi juga bagi masyarakat. Pemilih harus lebih selektif dalam menilai calon pemimpin. Kejujuran dan rekam jejak harus menjadi kriteria utama, bukan hanya janji manis atau popularitas.

    Bagi para pejabat, kasus ini mengingatkan bahwa jabatan bukanlah alasan untuk mengabaikan hukum. Sebaliknya, pejabat harus menjadi contoh dalam menegakkan integritas.

    Sidang lanjutan pada Selasa, 7 Januari 2025 akan menjadi momen penentu. Keputusan Hakim akan menunjukkan apakah hukum benar-benar dapat ditegakkan tanpa pandang bulu. Publik berharap pengadilan tidak terjebak pada drama emosional terdakwa, tetapi fokus pada prinsip keadilan dan supremasi hukum.

    “Jika hukuman terlalu ringan, ini akan menjadi preseden buruk, seolah-olah pelanggaran hukum oleh pejabat publik dapat ditoleransi. Kita membutuhkan ketegasan hukum untuk memastikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan tetap terjaga,” pungkas seorang pengamat politik lokal.

    Kasus ini menjadi pengingat bahwa jabatan bukanlah hak, melainkan amanah. Amanah hanya bisa dijalankan oleh mereka yang menjunjung tinggi integritas, kejujuran, dan tanggung jawab. Akankah kasus ini membawa perubahan pada wajah hukum di Kotawaringin Barat, atau justru menjadi catatan kelam dalam sejarah hukum daerah? Semua mata kini tertuju pada keputusan hakim.

( SUBAN / IMAM )