" DARI AMBISI KE MEJA HIJAU : KASUS PEMALSUAN IJAZAH SRI WAHYUNI DAN UJIAN BAGI SUPREMASI HUKUM DI KOBAR "

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :
Pengadilan Negeri I B Pangkalan Bun kembali menjadi pusat perhatian publik pada Senin (23/12/2024), saat sidang ke-8 kasus pemalsuan ijazah yang melibatkan Terdakwa Sri Wahyuni, Kepala Desa Amin Jaya, Kecamatan Pangkalan Banteng berlangsung. Kasus ini menjadi sorotan tajam karena tidak hanya menyeret nama Sri Wahyuni ke meja hijau tetapi juga memicu pertanyaan serius tentang moralitas, integritas, dan transparansi yang menggambarkan krisis moral dalam kepemimpinan dan demokrasi lokal.
Pasal yang Menjerat: Dari Pasal 263 hingga Pasal 266 KUHP.
Sri Wahyuni awalnya diduga melanggar Pasal 263 KUHP, yang berbunyi:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsukan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman yang sama, dihukum barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah isinya benar, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Setelah penyidikan lebih lanjut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) memutuskan menuntut Sri Wahyuni berdasarkan Pasal 266 KUHP, yang dianggap lebih relevan dengan kasus ini karena melibatkan dokumen autentik.
Pasal 266 KUHP:
(1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(2) Dengan hukuman yang sama dihukum barang siapa dengan sengaja memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian.
JPU menilai bahwa Tindakan memasukkan keterangan palsu ke dalam dokumen autentik untuk memenuhi syarat pencalonan kepala desa pada Pilkades Tahun 2023 dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hukum dan kepercayaan publik.
Sidang dan Pleidoi Emosional: Harapan untuk Keringanan Hukuman.
Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Ikha Tina, S.H., M.Hum., dengan Hakim Anggota Widana Anggara Putra, S.H., M.Hum., dan Firmansyah, S.H., M.H., serta Panitera Pengganti Hariyanto menampilkan drama emosional ketika Plh Kuasa hukum terdakwa Marden. A. Nyaring, S.H selesai membacakan pengajuan Pleidoi, Sri Wahyuni meminta waktu untuk bisa menyampaikan pleidoi nya secara langsung di depan Majelis Hakim. Dalam penyampaiannya Terdakwa memohon keringanan hukuman. Dengan alasan memiliki anak-anak yang membutuhkan perhatian, ia memohon hukuman seringan-ringannya.
Namun, JPU tetap pada tuntutannya, yaitu delapan bulan penjara. “Tindakan ini adalah kejahatan serius. Pemalsuan dokumen, apalagi untuk jabatan publik, adalah bentuk pengkhianatan terhadap masyarakat,” Ungkap JPU dalam persidangan.
Kasus ini memperlihatkan celah besar dalam sistem Pilkades. Verifikasi dokumen yang longgar memungkinkan dokumen palsu seperti ijazah Sri Wahyuni lolos seleksi, mencerminkan lemahnya pengawasan dalam proses demokrasi lokal.
“Jika pejabat publik memulai jabatannya dengan kebohongan, bagaimana masyarakat dapat percaya bahwa ia akan menjalankan tugasnya dengan baik? Ini adalah bukti lemahnya sistem kita,” kata seorang pengamat politik.
Harapan pada Supremasi Hukum.
Sidang lanjutan yang dijadwalkan pada Selasa, 7 Januari 2025 dengan agenda pembacaan putusan akan menjadi momen penting. Hakim diharapkan menjatuhkan keputusan yang mencerminkan keadilan dan memberikan efek jera.
“Jika hukuman terlalu ringan, ini akan menjadi preseden buruk, seolah-olah pelanggaran hukum oleh pejabat publik bisa ditoleransi. Kita membutuhkan ketegasan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum,” Ungkap seorang dosen hukum.
Kasus Sri Wahyuni mengajarkan pentingnya integritas dalam proses pemilihan dan kepemimpinan. Pemilih harus lebih kritis dalam menilai calon pemimpin, sementara sistem pemilihan harus diperbaiki untuk mencegah kebohongan serupa.
“Pemimpin yang tidak jujur hanya akan membawa kerugian bagi masyarakat. Ini adalah momen bagi kita semua untuk mengevaluasi bagaimana demokrasi lokal berjalan dengan baik,” pungkas seorang tokoh masyarakat.
Kasus ini menjadi ujian bagi sistem hukum di Kotawaringin Barat. Apakah keputusan hakim akan menjadi bukti supremasi hukum, atau justru menunjukkan lemahnya penegakan hukum? Semua mata kini tertuju pada keputusan yang akan menjadi catatan penting dalam sejarah peradilan di Kabupaten Kotawaringin Barat.
(SUBAN/IMAM/MASRAN)