" INTEGRITAS HUKUM KOBAR DIUJI : DRAMA HUKUM TAK BERUJUNG SKANDAL PEMALSUAN IJAZAH SRI WAHYUNI JADI TONTONAN TANPA SOLUSI " 

" INTEGRITAS HUKUM KOBAR DIUJI : DRAMA HUKUM TAK BERUJUNG SKANDAL PEMALSUAN IJAZAH SRI WAHYUNI JADI TONTONAN TANPA SOLUSI " 

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :

     Penundaan sidang yang kembali terjadi dalam kasus pemalsuan ijazah oleh Kepala Desa Amin Jaya, Kecamatan Pangkalan Banteng Sri Wahyuni, kini menjadi simbol ketidakadilan hukum di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar). Meski telah mengakui perbuatannya, Sri Wahyuni tetap bebas berkeliaran dengan status tahanan kota, sementara sidang keenam yang dijadwalkan pada Selasa (3/12/2024) kembali ditunda tanpa alasan yang memadai.

     Kasus ini jelas melanggar Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen, yang mengancam pelaku dengan hukuman penjara maksimal enam tahun. Selain itu, tindakan Sri Wahyuni juga melanggar UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terutama Pasal 29 yang mengharuskan kepala desa memenuhi persyaratan administratif secara sah. Namun hingga kini, aparat penegak hukum seolah bungkam dan tidak menunjukkan langkah konkret untuk menuntaskan perkara ini.

     Publik marah dan kecewa. Tindakan Sri Wahyuni bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga penghinaan terhadap demokrasi di tingkat desa. Pemalsuan ijazah untuk meraih jabatan kepala desa adalah tindakan tidak bermoral yang mencoreng integritas pemerintahan desa, dan memberikan contoh buruk bagi masyarakat. Ironisnya, aparat hukum yang seharusnya menjadi benteng keadilan justru lamban dan tidak tegas dalam menangani kasus ini.

     Penundaan sidang yang telah terjadi kembali mencerminkan betapa lemahnya komitmen penegakan hukum di Kobar. Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak siap mengajukan tuntutan, meskipun bukti sudah sangat jelas, bahkan terdakwa telah mengakui kesalahannya. Apakah ini bukti ketidakmampuan, atau justru indikasi adanya kekuatan besar yang melindungi Sri Wahyuni?

     Publik semakin muak dengan drama hukum yang tidak kunjung usai ini. Ketika seorang kepala desa terbukti bersalah, hukum seharusnya bertindak cepat dan tegas. Namun kenyataan menunjukkan sebaliknya. Sri Wahyuni terus menikmati statusnya sebagai tahanan kota, sebuah perlakuan istimewa yang jarang diberikan kepada warga biasa yang melakukan pelanggaran serupa. Apakah statusnya sebagai pejabat publik membuatnya kebal hukum?

     Kasus ini bukan hanya tentang seorang kepala desa yang memalsukan ijazah. Ini adalah cerminan buruknya tata kelola hukum di Kobar. Ketidakmampuan aparat untuk menyelesaikan perkara ini tidak hanya mencederai rasa keadilan masyarakat, tetapi juga memperburuk citra Kobar di mata nasional.

     Jika kasus ini terus berlarut-larut tanpa penyelesaian, kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum akan semakin runtuh. Sri Wahyuni seharusnya menjadi contoh bahwa pejabat publik tidak kebal terhadap hukum. Sebaliknya, kasus ini malah menunjukkan bahwa hukum di Kobar bisa diintervensi, tidak tegas, dan tidak adil.

     Masyarakat Kobar mendesak agar aparat penegak hukum segera menyelesaikan kasus ini dengan tegas dan transparan. Mereka menuntut Sri Wahyuni dicopot dari jabatannya dan dijerat dengan hukuman setimpal. Penundaan sidang hanya akan semakin mempertegas dugaan bahwa hukum di Kobar sedang diperjualbelikan.

     Kasus ini menjadi ujian besar bagi penegakan hukum di Kobar. Jika hukum terus membiarkan pelanggaran seperti ini tanpa tindakan nyata, maka demokrasi dan keadilan di daerah ini hanya akan menjadi ilusi belaka. Masyarakat tidak akan berhenti menuntut keadilan, meskipun aparat tampaknya terus menunda keadilan tersebut.

     Sudah saatnya Kobar menunjukkan bahwa hukum berlaku untuk semua, tanpa pandang bulu. Sri Wahyuni harus bertanggung jawab atas tindakannya, dan aparat hukum harus bertindak tegas sebelum kepercayaan publik hilang sepenuhnya. Hukum adalah pilar keadilan, bukan alat untuk melindungi kepentingan segelintir orang yang berkuasa.

( SUBAN / IMAM )