" SIDANG KILAT SRI WAHYUNI : DUA MENIT YANG MENGGUNCANG, HUKUM SERIUS ATAU SEKEDAR RITUAL PROSEDURAL " 

" SIDANG KILAT SRI WAHYUNI : DUA MENIT YANG MENGGUNCANG, HUKUM SERIUS ATAU SEKEDAR RITUAL PROSEDURAL " 

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :

    Sidang kasus pemalsuan ijazah yang melibatkan Sri Wahyuni binti Muksin kembali menyita perhatian publik. Sidang ketujuh yang digelar pada Selasa (17/12/2024) di ruang Kartika, Pengadilan Negeri Kelas I B Pangkalan Bun, hanya berlangsung selama dua menit. Sebuah durasi yang lebih singkat dari iklan televisi. Hal ini sontak menimbulkan kritik tajam dan kehebohan di kalangan masyarakat yang mempertanyakan esensi dari proses hukum itu sendiri.

    Dipimpin oleh Hakim Ketua Ikha Tina, S.H., M.Hum, bersama Hakim Anggota Widana Anggara Putra, S.H., M.Hum dan Firmansyah, S.H., M.H., serta Panitera Pengganti Hariyanto dan dihadiri oleh Jaksa Reskiah Dwi Wiraningtyas Pasandaran, S.H sidang ini seharusnya menjadi agenda penting untuk mendengarkan pembelaan/pleidoi dari terdakwa. Namun, alih-alih membawa perkembangan signifikan, terdakwa Sri Wahyuni yang didampingi kuasa hukumnya, Supriadi, S.H., justru meminta penundaan dengan alasan belum siap.

    “Pembelaan belum selesai kami siapkan, mohon diberi waktu tambahan yang mulia,” ucap Supriadi di hadapan Majelis Hakim.

    Hakim Ketua Ikha Tina memutuskan untuk menunda sidang hingga Senin, 23 Desember 2024. “Kita beri kesempatan satu kali lagi disidang minggu depan yaitu Senin, 23 Desember 2024,” Ungkap Hakim Ketua sambil mengetok palu tanda sidang berakhir. 

    Sontak, jalannya sidang yang hanya "berkedip mata" tersebut memicu komentar sinis dari publik yang menyaksikan. “Apa-apaan ini? Seperti formalitas saja, seharusnya sidang itu disiapkan dengan matang, bukan datang hanya untuk bilang belum siap!” ungkap salah satu pengunjung sidang yang merasa kecewa.

    Proses hukum dalam perkara 352/Pid.B/2024/PN P.Bu ini dinilai penuh dengan kejanggalan. Dalam kasus serius seperti pemalsuan ijazah untuk kepentingan pencalonan kepala desa, masyarakat berharap proses hukum berjalan cepat, transparan, dan menghasilkan keadilan yang nyata. Namun, apa yang terjadi justru bertolak belakang.

    Sidang singkat, penundaan yang berulang, dan tanpa substansi membuat proses ini terkesan seperti "teater sandiwara" di ruang pengadilan. “Apakah hukum ini benar-benar dijalankan demi mencari keadilan, atau hanya untuk memenuhi prosedur administrasi saja?” kritik seorang pengamat hukum dari Pangkalan Bun.

    Banyak yang menilai bahwa penundaan ini adalah "cermin buruk" penegakan hukum. Kasus pemalsuan ijazah bukanlah perkara sepele; tindakan ini tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga merusak tatanan demokrasi dan kredibilitas pemilihan pemimpin di tingkat desa.

    Kasus ini sekaligus menjadi peringatan keras bagi masyarakat untuk tidak lagi menutup mata terhadap calon pemimpin yang hanya "berkecukupan syarat administratif" tetapi minus integritas. Pemalsuan ijazah untuk meraih kekuasaan mencerminkan mentalitas korup sejak dini, dan ini perlu menjadi perhatian serius.

    “Jika di awal saja sudah menggunakan cara curang seperti memalsukan ijazah, bagaimana nanti ketika berkuasa? Demokrasi desa harus diselamatkan dari calon-calon pemimpin yang bermental culas!” tegas seorang aktivis antikorupsi.

     Masyarakat pun diajak untuk lebih kritis dalam memilih pemimpin dan mengawal proses hukum yang sedang berjalan. Pemalsuan dokumen bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga penghinaan terhadap pendidikan, kejujuran, dan demokrasi itu sendiri.

Penegakan Hukum atau Sekadar Formalitas?

     Dengan waktu sidang yang teramat singkat dan terkesan terburu-buru, publik semakin meragukan apakah penegakan hukum ini akan berakhir adil. “Kalau begini caranya, sidang lebih mirip 'show' daripada proses mencari kebenaran,” ucap salah seorang praktisi hukum dengan nada kesal.

    Masyarakat kini menanti keberanian majelis hakim untuk bersikap tegas dan transparan dalam menyelesaikan kasus ini. Jangan sampai perkara ini menjadi "lelucon hukum" yang mencoreng citra peradilan di Pangkalan Bun.

    Sidang lanjutan pada Senin, 23 Desember 2024 akan menjadi babak penting. Apakah terdakwa Sri Wahyuni akhirnya siap memberikan pembelaannya, atau penundaan akan kembali terjadi? Masyarakat berharap majelis hakim bisa mencabut “topeng drama” dan membawa proses ini menuju keadilan yang sesungguhnya.

   Satu pertanyaan besar masih menggantung di benak publik: "Apakah hukum masih bisa dipercaya, atau ini hanya panggung drama tanpa akhir?"

    Kita tunggu, kita kawal, demi tegaknya hukum dan demokrasi yang berintegritas!

( SUBAN )