" SIDANG KETUJUH KASUS PEMALSUAN IJAZAH SRI WAHYUNI : PEMBELAAN DITUNDA , FORMALITAS ATAU DRAMA? " 

" SIDANG KETUJUH KASUS PEMALSUAN IJAZAH SRI WAHYUNI : PEMBELAAN DITUNDA , FORMALITAS ATAU DRAMA? " 

TARGET OPERASI - Kotawaringin Barat :

    Sidang ketujuh perkara pemalsuan surat ijazah yang menyeret terdakwa Sri Wahyuni binti Muksin kembali digelar di ruang sidang Kartika, Pengadilan Negeri Kelas I B Pangkalan Bun pada Selasa (17/12/2024). Sidang yang berlangsung singkat, yang memakan waktu hanya dua menit lima belas detik dari pukul 10.55 hingga 10.57 WIB, menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Apakah sidang ini sekadar formalitas atau justru berubah menjadi tontonan drama yang mereduksi makna keadilan?

    Sidang dengan nomor perkara 352/Pid.B/2024/PN P.Bu ini dipimpin oleh Hakim Ketua Ikha Tina, S.H.,M.Hum, didampingi Hakim Anggota Widana Anggara Putra, S.H., M.Hum dan Firmansyah, S.H., M.H. Sementara itu, Hariyanto bertindak sebagai Panitera Pengganti. Dari sisi penuntutan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah Ari Andhika Thomas, S.H., Maudyna Setyo Wardhani, S.H., dan Budi Murwanto, S.H., yang pada persidangan ini dihadiri dan disaksikan oleh Jaksa Reskiah Dwi Wiraningtyas Pasandaran, S.H.

    Agenda sidang kali ini adalah pengajuan pembelaan (pleidoi) dari pihak terdakwa. Namun, persidangan tidak berjalan sesuai rencana. Terdakwa Sri Wahyuni, yang didampingi kuasa hukumnya Supriadi, S.H., meminta waktu tambahan untuk menyelesaikan pembelaan. Dengan alasan belum siap dan belum menyelesaikan dokumen pleidoi, pihak terdakwa memohon agar sidang ditunda.

    Permohonan tersebut dikabulkan oleh Majelis Hakim. Hakim Ketua Ikha Tina, S.H., M.Hum menyatakan bahwa sidang ditunda dan akan dilanjutkan pada Senin, 23 Desember 2024. “Kami memberi kesempatan satu kali sidang lagi untuk pengajuan pembelaan. Sidang dilanjutkan pekan depan pada Senin, 23 Desember 2024.” Tutup Hakim Ketua diakhir persidangan. 

    Kasus pemalsuan ijazah untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa ini menjadi sorotan publik karena mencerminkan permasalahan mendasar dalam pemilihan pemimpin di tingkat desa. Pemalsuan dokumen yang seharusnya menjadi penentu kapasitas dan integritas calon pemimpin, kini justru menjadi celah untuk mencederai demokrasi.

    Sidang yang berulang kali mengalami penundaan dan berjalan dengan durasi yang sangat singkat, seperti yang terjadi pada hari ini menimbulkan pertanyaan dari masyarakat. Apakah proses ini benar-benar bertujuan untuk menegakkan hukum atau sekadar formalitas belaka?

    “Sebagai warga, saya merasa ini seperti drama saja. Dua menit sidang untuk sekadar menunda? Apa ini yang disebut mencari keadilan?” ujar salah satu pengunjung sidang yang enggan disebutkan namanya.

    Tak hanya itu, pengamat hukum pun menilai bahwa sidang ini harus berjalan lebih efektif dan transparan. “Penundaan yang berulang-ulang dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses hukum. Masyarakat berhak mendapatkan kepastian hukum yang cepat dan adil,” jelas seorang pakar hukum dari Pangkalan Bun.

    Kasus ini seharusnya menjadi refleksi bagi seluruh pihak, terutama calon pemimpin di tingkat desa, untuk menjunjung tinggi integritas dan kejujuran. Pemalsuan dokumen bukan hanya tindakan melawan hukum, tetapi juga mencoreng kredibilitas seseorang sebagai pemimpin.

    Masyarakat diharapkan lebih teliti dan kritis dalam memilih pemimpin, tidak hanya berdasarkan popularitas atau janji kampanye semata. Calon kepala desa yang terbukti memalsukan dokumen patut dijadikan pelajaran agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.

    Lebih lanjut, aparat penegak hukum diharapkan menyelesaikan kasus ini dengan profesional dan transparan. Penundaan yang berlarut-larut hanya akan menambah keraguan publik dan mengurangi kepercayaan terhadap lembaga peradilan.

    Sidang lanjutan pada Senin, 23 Desember 2024 mendatang menjadi momentum penting untuk melihat apakah pembelaan dari terdakwa Sri Wahyuni akan membuka fakta baru atau semakin memperkuat dakwaan pemalsuan ijazah. Di tengah ketidakpuasan publik, harapan untuk mendapatkan keadilan masih menggantung. Masyarakat menantikan sikap tegas dari pengadilan untuk menjawab pertanyaan: Apakah hukum akan benar-benar ditegakkan, atau ini hanya akan menjadi drama panggung yang berakhir tanpa kejelasan?

    Mari kita kawal bersama proses ini sebagai bagian dari kontrol publik demi tegaknya keadilan dan kejujuran di negeri ini khususnya di Kabupaten Kotawaringin Barat.

( SUBAN / IMAM )